Seharian ini berseliweran cuitan di Twitter bernada mengejek, menyindir duel klasik antara Juventus melawan AC Milan, yang disebut-sebut sudah tak layak dianggap sebagai sebuah laga besar lagi. Terlalu timpang, pincang, dan bisa ditebak hasilnya. Tentu saya tidak setuju. Apa pasal
Juventus, walau sekuat apapun mereka, punya Ronaldo, Dybala, dan sekarang Ramsey, mereka tetaplah raksasa yang linglung, sering menganggap enteng lawannya, serta senang menyusahkan diri sendiri.
Tidak perlu jauh-jauh mengambil contoh, di musim ini saja, mereka sudah berkali-kali membuang poin penuh, dengan hanya bermain seri melawan tim-tim yang di atas kertas, bisa mereka kalahkan.Â
Entah karena memang sedang sial, atau memang dasarnya mereka ber-"DNA Badut", selalu merasa ada yang kurang, jika belum menyenangkan banyak orang.
Kemudian Milan, seculun-culunnya kiprah mereka musim ini, mereka tetap tak bisa dianggap remeh. Mereka satu-satunya pemilik "DNA Eropa" di Italia.Â
Badge of Honour UCL mereka terbanyak kedua setelah Real Madrid. Maka, jangan buru-buru meledek mereka dengan tim pra-sejarah dulu. Karena sering terbukti, kebanggaan atas pencapaian masa lalu, bisa membakar semangat sebuah tim untuk melibas siapapun lawan-lawannya.
Sekarang, kita bedah secara fair kekuatan Juve dan Milan. Saya akan mulai dari kedua juru taktiknya terlebih dulu, Sarri dan Pioli. Yang satu kepala batu, sementara yang satunya lagi, tak ada isi kepalanya. Setidaknya begitu, menurut kawan saya yang Milanisti.
Memang sih, sebatu-batunya Sarri, ia masih punya pakem taktikal yang sudah teruji. Sarri Ball namanya, mirip-mirip tiki-taka milik Pep, atau Gegen Pressing-nya Klopp, tapi yang ini kental dengan sentuhan Italiano, jadi ada sedikit catenaccio-nya. Yah, walau kadang tak berjalan baik juga.
Apalagi jika "trio ubur-ubur" ; Khedira, Matuidi & Bernardeschi tampil bareng. Kawan saya sesama Juventini sering menjulukinya Scary Ball, kadang juga Sorry Ball. Karena betul, penampilan Juve jadi lumayan horror karena ketiganya.
Sementara Pioli, strateginya mengawang-awang, berubah-ubah, seringkali cuma bermodal keberuntungan. Di satu sisi bagus, karena pola serangan Milan nyaris tak terbaca oleh lawan-lawannya. Cuma masalahnya yang ini, pemain sendiri juga ikut kesulitan membaca taktik pelatihnya sendiri.
Makanya saat menonton Milan bertanding, kita seperti sedang menyaksikan Twilite Orchestra, tapi bukan Addie MS yang memimpin. Melainkan Fadli Zon. Jangankan merdu, apalagi harmoni. Yang ada malah ambyar.