Saya adalah seorang karyawan swasta, yang bekerja di salah satu perusahaan pembiayaan terkemuka di Jakarta. Dalam keseharian pekerjaan saya, saya bertanggung jawab mengurusi hal-hal yang berkaitan dengan kepegawaian secara keseluruhan. Dan secara umum, karyawan di tempat saya bekerja dikelompokkan menjadi tiga jenis, yakni karyawan tetap, karyawan kontrak dari pihak ketiga (alih daya /Â outsourcing), serta yang terakhir adalah karyawan kemitraan. Ketiga kelompok ini memiliki kriteria dan benefitnya sendiri-sendiri, utamanya dalam hal jaminan hak-hak pekerja, khususnya dalam kepesertaan BPJS Kesehatan.
Tidak semua jenis kelompok karyawan di tempat saya bekerja, bisa mendapatkan fasilitas kepesertaan BPJS Kesehatan yang dibiayai oleh perusahaan. Hanya mereka yang telah berstatus sebagai karyawan tetap dan karyawan kontrak dari pihak ketiga saja lah, yang berhak mendapatkan fasilitas BPJS Kesehatan yang dibiayai oleh perusahaan.
Sementara mereka yang masih terdaftar sebagai karyawaan kemitraan, dengan berat hati harus mengurus dan membiayai sendiri kepesertaannya di BPJS Kesehatan secara mandiri.
Karena dalam perjanjian kemitraan antara perusahaan dan karyawan mitra, tidak mengatur kompesasi pembiayaan kepesertaan BPJS Kesehatan bagi setiap pekerja yang menjadi mitra di perusahaan kami, pertimbangannya antara lain karena belum tersedianya anggaran dari perusahaan untuk dialokasikan membiayai kepesertaan BPJS Kesehatan bagi seluruh karyawan kemitraan.
Jumlah karyawan kemitraan di tempat saya bekerja saat ini tercatat sudah mencapai sekitar 50-an orang. Kebanyakan dari mereka, dipekerjakan sebagai tenaga penjualan, pemasaran, serta sisanya bertugas sebagai tenaga supporting yang dipersiapkan sebagai perbantuan umum.
Dalam seminggu, mereka diberikan jatah libur satu hari, dengan durasi kerja selama delapan jam per hari, atau persis sama dengan jumlah jam kerja dengan karyawan lain di perusahaan. Sayangnya, besaran durasi kerja yang seragam ini, tidak berbanding lurus dengan kompensasi yang mereka terima.
Pernah suatu hari ada seorang tenaga sales di perusahaan tempat saya bekerja, didiagnosa mengalami penyakit usus buntu. Hal ini mengharuskannya sesegera mungkin untuk melakukan tindakan operasi yang membutuhkan biaya yang cukup besar, kalau tidak salah sekitar tujuh jutaan rupiah. Karena tidak ikut dalam kepesertaan BPJS Kesehatan, dengan sangat terpaksa si karyawan tadi harus membiayai sendiri pengobatannya dengan uang pribadi.
Usut punya usut, si karyawan sampai harus meminjam sana-sini hanya untuk menutupi biaya operasi usus buntunya itu. Saya bisa membayangkan betapa sulitnya kondisi yang dialaminya saat itu, sudah tertimpa musibah sakit, masih harus dibebani dengan biaya pengobatan yang cukup besar pula. Sementara penghasilannya dari bekerja selama sebulan, jumlahnya tidak sampai setengah dari biaya pengobatan penyakitnya itu. Sangat memprihatinkan rasanya.
Kondisi semacam ini tentu membuat saya dilema, di satu sisi sebagai orang yang bertanggung jawab pada kepegawaian, saya harus mengedepankan sisi kemanusiaan saya dalam memberikan perlindungan terhadap seluruh karyawan tanpa terkecuali.
Tetapi di sisi lain, sebagai orang yang bekerja pada perusahaan yang sama, saya harus tunduk dengan apa yang telah menjadi ketentuan perusahaan dalam kebijakan yang mengatur penggolongan karyawan, di mana menurut saya seharusnya perusahaan tidak lagi membeda-bedakan karyawan dalam hal fasilitas pembiayaan kepesertaan BPJS Kesehatan.
Bayangkan jika saja karyawan saya tadi terdaftar dalam kepesertaan BPJS Kesehatan, tentu ia tak perlu sampai harus kebingungan mencari pinjaman sana-sini hanya untuk membiayai pengobatannya.
Karena dengan menjadi peserta BPJS Kesehatan, kita bisa berobat dengan keluhan penyakit apapun, di rumah sakit manapun yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan tanpa khawatir akan ditolak, 'diping-pong' sana-sini, atau yang lebih parah sekali, ditelantarkan dan tak dibiarkan menerima penanganan sama sekali.
Belajar dari pengalaman ini, saya berusaha sekuat tenaga untuk mendorong perusahaan agar mau mengevaluasi kembali aturan dan kebijakannya yang mengatur kompensasi & benefit bagi karyawan kemitraan, utamanya dalam pembiayaan kepesertaan BPJS Kesehatan. Berkali-kali saya berdebat hebat mengenai perlunya perusahaan mengikut-sertakan seluruh karyawannya ke dalam BPJS Kesehatan tanpa terkecuali.
Namun argumen saya selalu dipatahkan oleh data keuangan perusahaan, yang memang akan sedikit terbebani jika perusahaan menerima dan menjalankan gagasan saya. Marah sih tidak, tetapi jengkel sudah pasti. Karena bagi saya, biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk membiayai kepesertaan BPJS Kesehatan bagi seluruh karyawan, tidaklah terlalu signifikan dalam membebani keuangan perusahaan. Bahkan hanya sedikit saja mengurangi profit yang ada. Sedikit sekali. Tetapi lagi-lagi, saya harus menghormati apapun yang sudah menjadi keputusan perusahaan.
Tetapi tak berhenti sampai di situ, saya berinisiatif mengajak seluruh karyawan kemitraan di perusahaan tempat saya bekerja, untuk mengurus sendiri kepesertaannya secara mandiri.
Dalam sebuah kesempatan, saya mengajak mereka berdiskusi mengenai pentingnya kepesertaan BPJS Kesehatan. Dengan mengambil contoh dari pengalaman si karyawan yang sakit usus buntu tadi, saya berupaya menyadarkan mereka mengenai betapa pentingnya memiliki jaminan perlindungan kesehatan pribadi.
Saya bersyukur niat baik saya ternyata disambut baik oleh mereka yang selama ini sudah memiliki kesadaran mengenai pentingnya BPJS Kesehatan, namun selama ini masih mengurungkan niat mengurus kepesertaannya karena khawatir prosesnya berbelit-belit, memakan waktu lama, atau bahkan dipersulit.
Tetapi dengan sedikit penjelasan yang tepat, saya berhasil meyakinkan mereka untuk mau mengurus segera kepesertaannya di BPJS Kesehatan, walau masih saja ada satu-dua karyawan yang 'ngeyel' dan beranggapan bahwa ikut kepesertaan BPJS Kesehatan hanya membuang-buang uang saja. Terhadap orang-orang yang memiliki pola pikir semacam itu, saya hanya bisa mendoakan kesehatan mereka agar selalu baik sepanjang waktu.
Mengurus kepesertaan BPJS Kesehatan memang tak bisa dibilang mudah, namun juga tak pas jika dikatakan sulit.
Sebab belajar dari mereka yang telah mengurus sendiri kepesertaannya, setidaknya hanya ada dua hal saja yang diperlukan dalam mengurus BPJS Kesehatan secara mandiri.
Pertama ialah kemauan, yang kedua ialah kerelaan. Kerelaan dalam menunggu antrean, serta kerelaan untuk menyisihkan sedikit uang untuk iuran bulanan yang nominalnya relatif tidak terlalu besar. Sesederhana itu. Selebihnya, BPJS Kesehatan akan menjamin penuh segala jenis fasilitas kesehatan yang kita butuhkan selama kita masih mengikuti kepesertaannya.
Di luar sana, saya percaya masih ada banyak pekerja yang mungkin bernasib sama dengan para karyawan kemitraan di perusahaan tempat saya bekerja sekarang. Mereka yang belum memiliki jaminan perlindungan terhadap kesehatannya sendiri, mereka yang tak tahu ke mana harus mencari biaya pengobatan jika sewaktu-waktu musibah penyakit menghampiri mereka.
Sementara perusahaan seolah tak mau tahu, karena merasa tak memiliki kewajiban apapun dalam perjanjian kerja dengan para karyawan mitranya.
Adalah hal sulit untuk mewajibkan seluruh perusahaan agar mau menjamin biaya kepesertaan BPJS Kesehatan bagi seluruh karyawannya tanpa terkecuali.
Karenanya, akan lebih bijak jika kita sendiri yang mau perduli terhadap diri kita sendiri, jangan menunggu hal terburuk datang menimpa kita, baru mengingat BPJS Kesehatan.
Sampai hari ini, setidaknya sudah hampir separuh lebih dari jumlah karyawan kemitraan di perusahaan tempat saya bekerja, yang telah menjadi peserta BPJS Kesehatan secara mandiri. Beberapa dari mereka bercerita mengenai masih adanya kekurangan pelayanan di sana-sini, utamanya soal sistem rujukan yang sedikit membuat bingung.
Akan tetapi secara umum mereka puas dan merasa amat sangat terbantu setelah menjadi peserta. Setidaknya, tidak ada lagi rasa was-was jika sewaktu-waktu mereka jatuh sakit dan dihadapkan pada keharusan tindakan pengobatan yang berbiaya mahal, sebab kini sudah ada BPJS Kesehatan yang melindungi.
Terlepas masih adanya pelayanan yang harus dibenahi di sana-sini, BPJS Kesehatan memang belumlah sempurna, tetapi harus diakui, ia merupakan satu-satunya sistem asuransi terbaik yang saat ini kita miliki.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H