4 tahun lalu sewaktu berkumpul dengan kawan di sebuah tempat yang menjadi sentra tongkrongan di Kota Kecil ini, ENGKAU pertontonkan padaku seorang bocah perempuan berumur sekitar 9 sampai 11 tahunan tampak bersusah-payah membawa keranjang berisi kue berjalan menyusuri sepanjang jalan ini demi mendapat beberapa rupiah dikantong yang harus diserahkan kepada orang tuanya sepulang ke rumah nanti.
Sementara di seberang jalan lainnya, ramai terlihat anak2 lain seusianya bersamakedua  Orang Tua mereka masing-masing sibuk berbelanja pakaian, sepatu, dan bermacam bingkisan ber-Merk lainnya di Toko-Toko yang berdiri Megah menghadap Sungai ini...
Bagiku waktu itu, hal ini merupakan Sebuah kontras yang menyesakkan dan mendorong diriku untuk diam-diam berdo'a hati "Oh Tuhan.., tuntunlah jalan anak ini.. Sehingga nantinya dapat berhasil dan bahagia....!!"
Dan hari ini ditempat yang sama pula.., kembali ENGKAU perlihatkan padaku sosok yang tak lain adalah bocah penjual kue waktu itu lagi yang kini tlah mulai beranjak dewasa bersama sekelompok pria duduk tepat di meja sebelahku.. Tak sengaja jelas terdengar obrolan mereka tentang tawar menawar harga untuk sebuah jasa, "hubungan kenikmatan sesaat" dengan gadis itu, dan kini ternyata Gadis malang itu tumbuh menjadi pelacur...!!!!!!!!!
Yaa Tuhan...!! kenyataan ini sungguh semakin tak masuk akal, dan membuatku semakin bertanya-tanya kembali tentang apa itu "Keadilan"...!!!!!!
Apakah benar kalimat yang diucapkan oleh Nyai Ontosoroh di novel karya Pram itu... "bahwa Tuhan tidak akan pernah berpihak pada yang kalah...!!!"Dari satu kasus yang dipertunjukkan padaku ini, terlihat bahwa tempat berdiri seseorang yang meliputi kata baik-buruk, baik-jahat, benar-salah dan berbagai variable dinamika kehidupan manusia ternyata tidak terbentuk secara instan seperti yang terlihat, ada proses panjang yang terjadi, seperti mengikuti teks skenario yang telah dibentuk oleh sesuatu yang bahkan tak kita tahu asalnya...
Dan nasib orang-orang kalah tetep sama semenjak dulu.. hanyalah menjadi pesakitan dan pecundang.., parahnya hal ini semacam menjadi penyakit turun-temurun yang diwariskan ke dalam gen anak-cucu mereka.
Dari tata buku sejarah yang kita punya.., sejak dulu nasib telah membawa karunia menyakitkan-,350 tahun penjajahan fisik yang mampu membuat amnesia, tidak tahu jati diri tentang siapa kita sebenarnya, jalan pembangunan mana yang harus kita tempuh, dan kemana kita akan melangkah nantinya,-
Selama 350 tahun lebih itu mental orang-orang di jamannya dididik dan dibentuk agar menjadi mentalitas Babu, tujuannya agar bisa mengabdi pada golongan "orang-orang Menang" yang dipilih... dan doktrin orang tua bahwa "Gusti Mboten Sare" yang artinya Tuhan Tidak Tidur menjadi hiburan satu-satunya untuk membesarkan hati kita...
Anehnya hingga detik ini, ketika beraneka macam rumpun suku Bangsa telah mampu membuat semacam suatu payung bersama sebagai alat pemersatu, sehingga lahirlah makhluk baru yang disebut dengan "Bangsa Indonesia" dan ditanda tangani lah suatu "Teks Tolak Balak Penjajahan"..., Penyakit itu tetap mengalir di tiap aliran darah manusia-manusia di dalamnya, dan Penjajahan itu kini justru makin merambah berbagai aspek kehidupan yang ada...
"Tempora Mutantur nos et Mutamur in Illis" sebuah peribahasa Latin yang artinya "Waktu berubah dan kita manusia pun berubah seiring dengannya" . Namun dalam kasus ini kalimat itu tak berlaku, golongan yang kalah tetap kalah, dan yang menang tetap menang...Maka menjadi suatu kewajaran jika Kondisi seperti ini tetap tak kunjung usai dan mudah kita lihat di sekelilng kita.
Semoga cerita lama ini segera berganti dengan kisah kebangkitan dari sebuah bangsa yang hingga kini masih terlelap dalam tidur panjangnya, sehingga sila kelima dalam Pancasila yang selama ini hanya menjadi mimpi, dapat menjadi sebuah kenyataan...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H