Perawatan paliatif merupakan salah satu bentuk perawatan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien dengan penyakit yang mengancam jiwa. Fokus utamanya adalah pada penanganan gejala fisik, psikologis, dan emosional, serta pemberian dukungan spiritual kepada pasien dan keluarganya. Perawatan ini dapat diberikan sejak awal diagnosis, bukan hanya di akhir hayat, dan melibatkan tim medis multidisiplin (Shatri, 2020).Â
Perawatan paliatif di Indonesia menghadapi berbagai kendala dalam pelaksanaannya, termasuk kurangnya integrasi aspek spiritual dalam praktik (Tampubolon, 2021). Sementara itu, eutanasia merupakan tindakan yang dilakukan untuk mengakhiri hidup seseorang guna mengurangi penderitaan yang tak tertahankan akibat penyakit yang tidak dapat disembuhkan.Â
Eutanasia dapat dilakukan secara aktif, yaitu tindakan yang dilakukan untuk mempercepat kematian, atau secara pasif, yaitu menghentikan pengobatan yang dapat mempertahankan hidup (Rachels, 2019). Di banyak negara, eutanasia masih menjadi topik perdebatan sengit dari sudut pandang etika dan hukum.
     Tetap menjadi topik yang kontroversial dan kompleks, terutama di bidang perawatan paliatif, eutanasia yang berarti praktik mengakhiri hidup seseorang secara sengaja untuk menghilangkan rasa sakit dan penderitaan. Perawatan paliatif bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien dengan penyakit terminal, yang biasanya mencakup penanganan rasa sakit dan gejala nyeri lainnya. Jika pasien mengalami penderitaan yang tak tertahankan, mereka dapat mempertimbangkan eutanasia.Â
Perawatan paliatif bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien dan keluarga mereka dengan membantu mereka mengurangi penderitaan fisik, mental, spiritual, dan sosial (Shanti et al., 2020). Dalam situasi seperti itu, eutanasia dapat dianggap sebagai perluasan dari perawatan paliatif, yang bertujuan untuk mengakhiri penderitaan seseorang ketika tidak ada pilihan lain.
     Eutanasia dalam konteks perawatan paliatif mengacu pada tindakan medis yang disengaja untuk mengakhiri hidup pasien untuk menghilangkan penderitaan yang tak tertahankan dan tidak dapat disembuhkan. Dalam perawatan paliatif, profesional medis sering kali dihadapkan dengan permintaan eutanasia dari pasien dengan penyakit terminal, dan keputusan ini melibatkan pertimbangan etika yang kompleks (Alderliesten, 2023).Â
Penelitian menunjukkan bahwa pengasuh spiritual atau pembimbing spiritual berperan penting dalam mendampingi pasien yang menghadapi keputusan akhir hayat (Alderliesten, 2023). Selain itu, diskusi tentang eutanasia sering dikaitkan dengan penggunaan sedasi paliatif sebagai metode untuk meringankan penderitaan tanpa mempercepat kematian (Guité-Verret et al., 2024). Prinsip-prinsip seperti otonomi, kebaikan hati, non-maleficence, dan keadilan merupakan inti dari diskusi etika tentang eutanasia (Raus et al., 2011).Â
Mereka yang mendukung eutanasia melihatnya sebagai respons yang penuh kasih sayang dan percaya bahwa pasien harus memiliki kebebasan untuk memutuskan untuk melakukannya guna menghindari penderitaan yang tak tertahankan (Chambaere & Bernheim, 2015).Â
Sebaliknya, mereka yang menentang eutanasia menganggap tindakan ini sebagai pembunuhan yang tidak dapat dibenarkan karena mengakhiri hidup seseorang yang seharusnya hanya dilakukan oleh Tuhan, menurut pandangan agama. Dalam sebuah studi oleh Banović dan Turanjanin (2014), mereka menguraikan bagaimana eutanasia sering dipandang bertentangan dengan prinsip-prinsip moral fundamental, terutama dalam konteks agama yang menolak hak manusia untuk mengakhiri hidup mereka sendiri atau orang lain (Bavonic & Turanjanin, 2014).Â
Selain itu, nilai-nilai agama tradisional cenderung sangat memengaruhi pandangan orang-orang dalam menolak hak eutanasia, terutama di masyarakat yang lebih religius (Rudnev & savelkaeva, 2018). Faktor lain yang memengaruhi penolakan eutanasia adalah pertimbangan potensi penyalahgunaan atau manipulasi hukum, terutama di kalangan pasien yang rentan atau lanjut usia, yang dianggap berisiko jika eutanasia dilegalkan tanpa pengawasan yang memadai (Gandsman, 2016).