Berapa sih sesungguhnya usia kanak-kanak itu? Menurut Papalia, Olds dan Feldman (2010): Perkembangan anak terbagi menjadi tiga bagian, yaitu masa kanak-kanak awal adalah 2 -- 5 tahun (early childhood), masa kanak-kanak tengah adalah 6 -- 9 tahun (middle childhood) dan masa kanak-kanak akhir adalah 10 -- 12 tahun (late childhood). Lalu kapan masa kanak-kanak itu berakhir? Tentu saja sesudah  berusia di atas 12 tahun mereka memasuki usia remaja. Demikian juga halnya dengan usia remaja, ada beberapa pendapat yang berbeda-beda. Menurut Mappiare (dalam Ali dan Asrori, 2005) masa remaja itu berlangsung antara usia 12 -- 21 tahun.
      Pada kesempatan ini penulis merasa perlu untuk membahas khusus pada usia kanak-kanak yang ibarat orang menanam pohon, pastinya mulai dari tumbuhan itu masih kecil dan dipelihara dengan baik hingga ia tumbuh menjadi besar kemudian berbunga dan berbuah. Istilah kanak-kanak selanjutnya penulis akan tuliskan dengan kata anak-anak, karena dalam konteks bahasa Indonesia tidak ada perbedaan antara 'kanak-kanak' dan 'anak-anak'. Keduanya merupakan sinonim yang digunakan untuk merujuk pada golongan usia anak.
      Pertanyaan selanjutnya yang menggoda ialah mengapa pengertian dan pemahaman tentang bahaya korupsi itu harus diberikan sejak dini usia? Biasanya anak-anak itu bertumbuh dan berkembang di lingkungan keluarga dan kemudian sekolah  di samping lingkungan masyarakat. Orangtua  adalah pendidik pertama dan utama, itulah sebabnya keluarga memiliki peranan penting dan strategis dalam tumbuh-kembang anak. Peran keluarga menjadi sangat penting karena keluarga adalah garda terdepan dalam memerangi kejahatan termasuk korupsi.
      Bahwa sesungguhnya, korupsi itu setua sejarah manusia walaupun pada waktu itu korupsi dimaksudkan pada terjadinya kenajisan moral manusia. Lama-kelamaan konsep korupsi telah berubah setelah berabad-abad di antara budaya yang berbeda-beda dan kemudian istilah tersebut dimaknai sebagai penyimpangan dari norma. Di Indonesia, korupsi telah menjadi persoalan serius sehingga pantaslah kalau perilaku koruptif yang dilakukan oleh koruptor itu dikatagorikan sebagai kejahatan luar biasa.
      Ketidakjujuran yang dilakukan anak-anak juga biasanya dimulai dari perbuatan-perbuatan kecil yang kalau dibiarkan bisa semakin besar, misalnya meminjam buku atau alat tulis kepada temannya akan tetapi tidak dikembalikan.  Kemudian berlanjut ketika anak-anak itu menjelang remaja dan dewasa.  Ia merasa benar tindakannya yang menyontek pekerjaan temannya itu. Setelah duduk di perguruan tinggi, menjadi mahasiswa ia dengan enaknya tidak hadir kuliah namun minta tolong temannya untuk mengisikan daftar hadirnya. Meminjam uang, tidak mengembalikan, ngemplang.
      Bagaimana nantinya jika ia setelah lulus dan mulai kerja pada institusi pemeritah atau swasta?  Kecurangan apa lagi yang akan dilakukan untuk kepentingan dirinya yang egois, tidak peduli kepada yang lain dan maunya benar sendiri. Menumpuk kekayaan dengan cara yang rakus, tamak, serakah dan menghalalkan segala cara. Jelas semua perbuatan yang penulis sebutkan itu tidak baik dan harus segera diambil langkah-langkah pencegahan dan sekaligus memberantasnya.
      Ibarat api, perilaku koruptor itu dimulai dari kecil-kecilan dulu dan kalau berlanjut dan terjadi pembiaran maka pasti akan membesar dan akibatnya pasti fatal. Oleh karena itu, tak ada kompromi dengan tindak pidana korupsi mulai dari anak-anak sampai dewasa harus siap untuk tidak terlibat korupsi, orangtua dan guru harus mendidik anak/anak-anak dan peserta didiknya untuk berperilaku jujur dalam segala hal. Penanaman nilai-nilai anti korupsi itu harus dimulai sejak dini.
Faktor-Faktor Penyebab Korupsi
      Ada yang dari eksternal dan ada juga yang dari internal, adapun penyebab korupsi yang berasal dari eksternal adalah adanya kesempatan untuk korupsi (opportunity to corrupt), sedangkan merupakan faktor internal ialah adanya keinginan untuk korup (willingness to corrupt). Selain ke dua faktor tersebut, faktor moral, faktor tingkat pendidikan, faktor keluarga, faktor struktural dan sejarah, dan ada pula faktor politik dan birokrasi.
      Dari sekian banyak faktor tersebut, penulis sangat peduli dengan faktor pendidikan, mengapa? Masyarakat yang memiliki tingkat pendidikan yang rendah rawan menjadi obyek bagi siapapun yang rakus dan inginnya memperkaya diri sendiri serta menghalalkan segala cara. Misalnya, hal yang biasa terjadi seperti dalam pengurusan perijinan, cukup banyak orang awam yang berkepentingan mengurus berbagai macam perijinan, akibatnya secara tidak sadar mereka itu terlibat pada 'rantai' korupsi. Maksud memohon bantuan akan tetapi segala bentuk bantuan itu selalu dikaitkan dengan biaya alias uang...uang...dan uang!
      Sedangkan pada tingkat yang agak elit, misalnya korupsi mulai terjadi ketika seseorang memutuskan meniti karir, ada saja biaya 'siluman' yang harus dikeluarkan untuk berhasil. Memang kata orang 'jer basuki mawa bea' (artinya segala sesuatu itu perlu biaya), akan tetapi apakah tindakan tersebut di benarkan? Dari sisi manapun pihak yang menyuap dan menerima suap itu jelas salah, maka jangan tempuh jalan itu! Supaya kebiasaan buruk itu tidak berlangsung terus-menerus, putus mata rantai kejahatan dan tindak tegas segala bentuk perbuatan yang tidak jujur itu. Didik anak-anak kita mulai dari kecil, di usia batita atau usia balita  (bawah tiga tahun atau bawah lima tahun) dengan perilaku jujur, niscaya kelak sampai dewasanyapun mereka sudah terbiasa dengan karakter jujur.