Mohon tunggu...
E HandayaniTyas
E HandayaniTyas Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

BIODATA: E. Handayani Tyas, pendidikan Sarjana Hukum UKSW Salatiga, Magister Pendidikan UKI Jakarta, Doktor Manajemen Pendidikan UNJ Jakarta. Saat ini menjadi dosen tetap pada Magister Pendidikan Program Pasca Sarjana Universitas Kristen Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jadilah Suluh Anti Korupsi

9 Agustus 2023   19:57 Diperbarui: 9 Agustus 2023   20:07 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

            Sebelum penulis membahasnya lebih jauh tentang anjuran ini, kata 'jadi-lah' mempunyai arti himbauan, anjuran, ajakan. Nah.....ajakan ini ditujukan kepada siapa, untuk apa, kapan dilakukan, dimana dan mengapa harus diajak, serta bagaimana caranya agar berhasil efektif dan efisien (5 W + 1 H). Pertanyaan: Siapa -- Apa -- Kapan -- Dimana -- Mengapa dan Bagaimana ini harus terjawab dengan baik dan benar. Sedangkan kata 'suluh' mempunyai makna menerangi dalam kegelapan.

            Pertanyaan selanjutnya, siapkah kita sebagai warga negara yang baik dan benar ikut ambil bagian menjadi penyuluh untuk menerangi lorong gelap maraknya korupsi di Indonesia? Penyuluh itu bertugas melaksanakan kegiatan penyuluhan dan menjaga suluh anti korupsi itu dibutuhkan orang-orang yang memiliki integritas. Sesungguhnya masih ada di seputar kita mereka yang berintegritas, ia tidak harus orang yang berjabatan tinggi, akademisi, memiliki gelar yang berderet, dan sebagainya.

            Mari kita hayati dan internalisasikan kata jujur ke dalam setiap hati dan pikiran masing-masing, jadilah pribadi yang siap bekerja dengan sepenuh hati dan amanah. Jangan menunggu dicontohi, akan tetapi mulailah dari diri senriri, berjanji dengan diri sendiri dan jadikan diri kita masing-masing menjadi role model bagi yang lain. Kemudian 'catatkan sejarahmu sendiri, jangan orang lain!' apabila sementara orang lain yang ada di sekitar kita masih diliputi dengan kegelapan, hadirkan suluh-mu di tengah redupnya integritas pemberantasan korupsi.

            Pernah penulis alami ketika masih menjabat, kepada setiap leader dan follower disiapkan selembar kertas yang bertuliskan Fakta Integritas lengkap dengan meterai tempat dibubuhkan tanda tangan. Hasilnya lumayan efektif juga karena setidaknya ia berfungsi sebagai pengingat bahwa kejujuran itu harus diutamakan. Lingkungan kerja yang bersih, penuh integritas, bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme terasa lebih nyaman dan pastinya akan memicu dan memacu prestasi kerja, karena akan mendatangkan penghargaan (reward) bagi mereka yang jujur.

            Benarkah kalau dikatakan bahwa upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia masih terasa suram dan temaram? Kalau pembaca yang budiman mengatakan ya, itu tercermin dari Indeks Perilaku Anti Korupsi tahun 2021 yang dirilis Badan Pusat Statistik menunjukkan adanya peningkatan praktik suap-menyuap yang dilakukan di masyarakat saat mengakses pelayanan publik. Bukankah itu artinya perilaku koruptif masih parah, masih sakit, perlu disembuhkan dengan sanksi yang lebih tegas (misalnya ancaman hukuman mati!).

Korupsi Adalah Kejahatan Luar Biasa

            Hukuman mati adalah sebuah kebijakan hukum yang melegalkan suatu negara atau sistem hukum untuk menjatuhkan hukuman mati kepada pelaku kejahatan serius. Sekalipun hukuman mati tidak dapat diterapkan di semua negara dan banyak ditentang oleh beberapa sistem atau organisasi yang ada di dunia, namun bukankah tindakan korupsi itu sudah dinyatakan sebagai kejahatan luar biasa? Di sisi lain ada pendapat yang mengatakan bahwa hukuman mati itu melanggar HAM (Hak Asasi Manusia), benarkah demikian?

            Pada dasarnya hukuman mati bagi koruptor di Indonesia sebenarnya telah diatur dalam Pasal 2 ayat (2) UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Hanya saja, sampai saat ini belum terdapat koruptor yang divonis hukuman mati oleh pengadilan. Pertanyaannya, mengapa tidak ada atau belum ada hukuman mati bagi koruptor, padahal mereka itulah yang bikin sengsara orang banyak?

            KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) secara tegas mengatur tentang pidana mati sebagai pidana pokok (Pasal 10 huruf a KUHP menyatakan, Pidana pokok terdiri dari, Pidana mati, Pidana penjara, Pidana kurungan, Pidana denda, Pidana tutupan). Berdasarkan ketentuan Pasal 10 KUHP, dalam KUHP dikenal dengan adanya dua jenis pidana, yakni pidana pokok dan pidana tambahan. Menurut KUHP yang berlaku di Indonesia terpidana yang telah dijatuhi hukuman mati masih bisa menempuh upaya Hukum Biasa yang terdiri dari: Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali.

            Nah..... akhirnya kita tak hendak masuk ke dalam arena debat tentang hal itu, melainkan mari kita coba dengan bersiaplah menjadi penyuluh dalam lorong kegelapan perilaku koruptif dengan tak henti-hentinya  menyuarakan: Stop Korupsi! Korupsi itu merusak, korupsi itu menyengsarakan banyak orang, korupsi itu memalukan. Melalui tulisan sederhana ini, penulis mengajak kepada semua pembaca yang budiman: 'Jangan mengutuki kegelapan, namun jadilah penerang untuk mengusir kegelapan itu!'

Jakarta, 9 Agustus 2023

Salam penulis,

E. Handayani Tyas, dosen Universitas Kristen Indonesia; tyasyes@gmail.com    

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun