Mohon tunggu...
Dihandayani
Dihandayani Mohon Tunggu... Wanderer. Lecturer by Job -

I read. I write. I think. I learn. Saya juga ngeblog di http://dihandayani.blogspot.co.id

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sosok Perempuan Pada Diri Ibu Risma

5 Maret 2014   13:09 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:13 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Risma, Risma, Risma. Dengan suhu politik makin memanas di kuartal pertama tahun ini, nama Ibu Risma makin gencar disorot berbagai media tanah air. Perhatian media tidak hanya datang dari dalam negeri, dunia internasional turut mencatat jejaknya. Tapi bukan itu yang membuat saya tertarik. Namun fakta bahwa beliau seorang ibu, seorang perempuan, yang bekerja sebagai pegawai negeri, menduduki posisi strategis di pemerintahan, dan terlebih lagi, berprestasi.

Tidak banyak informasi mengenai keluarganya – yang dapat menjadi cermin keberhasilannya sebagai seorang ibu. Juga tidak banyak media yang mengangkat latar belakang orang tuanya – yang dapat menjadi cermin latar belakang karakter dan kepemimpinannya. Saya juga tidak mau sok tau. Tapi saya jadi membayangkan besarnya tantangan yang beliau hadapi menjadi pekerja profesional. Saya juga jadi menduga-duga besarnya pengorbanan beliau dalam memegang amanah menduduki posisi strategis sebagai pemimpin.

Tantangan perempuan bekerja tidak hanya datang dari kaum laki-laki. Tantangan kerap datang dari sesama perempuan sendiri. Rentan dilecehkan (harrashment) dan direndahkan (underestimate) membuat perempuan harus ekstra pandai membawa diri dan menempatkan posisi. Pengharapan tinggi (over expectation) juga membuat seakan perempuan harus membuktikan diri di atas rata-rata laki-laki demi mendapat pengakuan. Belum lagi dari sesama perempuan. Judgement. Masih ada yang menganggap perempuan bekerja di kantor tidak ‘complete’ sebagai ibu. Demikian ‘berat’kah, tantangan yang dihadapi Ibu Risma, sebagai perempuan, sebagai ibu, dalam perjalanannya selama ini?

Perempuan pekerja kantoran.

Atau bagi Ibu Risma adalah ibu pekerja kantoran, bukan working mom, bukan half-time mom (karena sebelumnya ada istilah full-time mom). Ibu Risma mengawali karirnya sebagai pegawai pemerintahan sejak era 1990-an. Berarti sekitar lebih dari 20 tahun masa kerja hingga saat ini. Sebagai seorang pekerja kantoran juga, saya jadi membayangkan suasana batin beliau. Restu suami sangat penting untuk menjamin keberkahan langkah kaki kita dari rumah ke kantor. Kerja sama yang solid dengan suami juga tak kalah penting, untuk kelancaran pendidikan anak-anak. Belum lagi bila kesehatan anak-anak terganggu.

Bila sudah memutuskan pilihan untuk bekerja di kantor, ‘menikmati’ segala fasilitas dan menerima penghasilan bulanan, maka profesionalitas menjadi ‘tuntutan’. Rasa bersalah. Inilah yang kerap menghantui perempuan pekerja kantoran. Anak sakit. Pentas anak. Ambil raport. Konsultasi guru. Pertemuan orang tua murid. Bila tidak dituruti khawatir dianggap tidak keibuan (oh ini penting, sangat penting!). Rapat kerja. Laporan akhir. Tenggat waktu proyek. Bila tidak dipenuhi, khawatir dicap tidak profesional. Atau dianggap ingin dimaklumi karena berstatus ibu. Jadi, semuanya harus dipenuhi. Semuanya harus dijalankan. Tanpa terkecuali. Bagaimana pun caranya.

Perempuan di pemerintahan.

Jabatan pertama Ibu Risma dalam rantai birokrasi adalah sebagai Kepala Seksi Tata Ruang dan Tata Guna Tanah Bappeko Surabaya pada tahun 1997 sampai 2000. Karir beliau makin menanjak hingga menjabat sebagai Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Surabaya dan Kepala Badan Perencanaan Kota Surabaya sampai tahun 2010.

Perempuan dalam pemerintahan tidak lagi jarang. Banyak perempuan termasuk ibu yang berprofesi sebagai pegawai pemerintahan. Banyak juga yang beranggapan profesi pegawai negeri itu nyaman bagi perempuan terlebih ibu. Anggapan bisa seenaknya datang siang, pulang sore, izin sewaktu-waktu, tidak dibebani pekerjaan berat, merupakan pemahaman sebagian besar orang di luar sana terhadap profesi pegawai negeri. Benar begitu?

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, saya yakin Ibu Risma sebagai pegawai pemerintahan, pastinya memiliki komitmen yang tinggi terhadap pekerjaannya. Bila beliau bersikap seenaknya, apa mungkin bisa menapak karir hingga di posisi saat ini? Bila beliau tidak berkomitmen dengan tugas dan fungsinya, apa iya beliau dicintai rakyatnya seperti sekarang ini? Saya termasuk yang yakin dan percaya, you’ll get what you’ve worked for. Singkat kata, siapa pun, baik pegawai perempuan maupun laki-laki, baik ibu-ibu maupun bapak-bapak, jika datang pergi seenaknya dan mengabaikan tugasnya, tidak akan sampai kemana-mana. Apalagi sampai jadi wali kota yang dicintai rakyatnya.

Kembali ke pertanyaan sebelumnya, apakah benar, perempuan dan ibu pekerja bisa seenaknya bekerja di kantor pemerintah? Sejak era reformasi birokrasi, sistem di pemerintahan mulai berbenah. Indikator kinerja utama setiap pegawai, tidak terkecuali pegawai perempuaan, mulai diterapkan. Sistem tersebut berusaha menjawab kritikan terhadap profesionalitas pegawai negeri. Di sini diberlakukan sistem reward dan punishment. Jadi? Tanpa perlu menguraikan lebih panjang lagi, semoga dapat menjawab pertanyaan di atas.

Saya tidak dapat mengidentifikasi sistem di pemerintahan yang ramah bagi perempuan. Mungkin saya saja yang kurang mencari tau. Beberapa waktu silam memang terdengar mengenai program pengarusutamaan gender yang – tampaknya – memiliki fokus program pada pemberdayaan perempuan. Namun saya gagal memahami pentingnya program tersebut atau bukti nyata dari program dimaksud bagi pegawai negeri perempuan dan ibu.

Perempuan di posisi strategis.

Setelah mencari tau lebih banyak, saya baru menyadari bahwa jalan cerita Ibu Risma menjadi wali kota mirip dengan kisah Mackenzie Allen sebagai Independent Vice President dalam Commander in Chief, serial favorit saya yang pernah ditayangkan sekitar tahun 2006. Namun tentu tidak diiringi drama dimana pemimpin utamanya mendadak sakit dan meninggal dunia seperti di serial tersebut. Wali kota terdahulu Bapak Bambang Dwi Hartono maju mencalonkan diri menjadi Gubernur Jawa Timur, yang akhirnya membawa Ibu Risma naik menjadi Wali Kota Surabaya menggantikan beliau. Entah by design atau tidak, entah sudah dipersiapkan skenario ini sebelumnya atau tidak, nyatanya banyak pemangku kepentingan akhirnya merasa risih. Karena ternyata sepak terjang pemimpin pengganti ini telah mengusik dan mengancam kepentingan mereka.

Masih bernostalgia dengan serial Commander in Chief, di film itu digambarkan bahwa sebagai Presiden bagaimana Mackenzie Allen harus memutuskan perang atau tidak. Sebagai ibu, dia juga harus memutuskanhukuman yang tepat untuk anak perempuannya yang beranjak remaja dan labil. Dia sangat menentang suaminya yang juga mendapat posisi strategis di sebuah klub olahraga dan anak laki-lakinya yang mendapat akses khusus. Dilema, apakah posisi tersebut karena statusnya sebagai keluarga Presiden? Sedemikian dalam rasa bersalah yang mengusik batinnya. Apakah demikian juga halnya dengan Ibu Risma? Apakah demikian juga halnya dengan pemimpin laki-laki? Ah, hanya Tuhan yang tahu jawabnya.

Berada pada posisi strategis, saya pikir bukan faktor gender yang menjadi penentu keberhasilan seseorang. Setiap orang, baik laki-laki maupun perempuan, mempunyai peluang yang sama untuk berhasil membawa perubahan pada kebaikan. Menempati jabatan strategis, Ibu Risma memiliki kekuasaan untuk membawa Surabaya menjadi kota yang dibanggakan penduduknya. Kekuasaan yang sama dimiliki pemimpin-pemimpin sebelumnya. Ketika akhirnya Surabaya meraih berbagai prestasi seperti saat ini, lalu apa yang membedakan kepemimpinan Ibu Risma dengan pendahulunya yang nota bene kaum pria? Bukan karena jenis kelaminnya pastinya. Tapi Kemauan. Dan kerja keras. Perempuan di posisi strategis, memiliki peluang yang sama dengan kaum pria.

Perempuan berprestasi.

Bila ternyata Ibu Risma berprestasi sebagai Mayor of the Month tingkat dunia untuk keberhasilannya memimpin Surabaya sebagai kota metropolitan paling baik penataannya, serta berhasil membawa Surabaya meraih berbagai penghargaan nasional dan internasional, apakah itu karena Ibu Risma seorang perempuan? Nyatanya ada wali kota laki-laki lainnya yang telah lebih dulu menyandang predikat tersebut dan menjadi kandidat.

Bila nyatanya Ibu Risma berhasil membawa kotanya berprestasi, saya pikir itu merupakan hadiah terindah. Bukan bagi dirinya, namun terutama bagi suami dan anak-anaknya. Mungkin dengan prestasi itu beliau akhirnya berdamai dengan rasa bersalah yang diam-diam terus mengusik hatinya. Rasa bersalah yang menyelusup ketika harus mendahulukan kepentingan warganya di atas keluarganya. Mungkin.

Ah, tapi di luar itu semua, saya yakin, beliau tidak ambil pusing dengan semua ini. Karena yang beliau lakukan dan usahakan adalah berusaha sekuat tenaga memegang amanah yang dilimpahkan padanya, membawa perubahan yang lebih baik pada warga Surabaya. Beliau tidak membutuhkan pembuktian diri. Apalagi judgement.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun