Mohon tunggu...
Dihandayani
Dihandayani Mohon Tunggu... Wanderer. Lecturer by Job -

I read. I write. I think. I learn. Saya juga ngeblog di http://dihandayani.blogspot.co.id

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Ketika Saya Terjebak "Hope" Samuel Mulia

9 Maret 2014   13:06 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:07 1239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya termasuk pembaca kolom Parodi oleh Samuel Mulia di harian Kompas. Keterusterangannya ingin lari dari kenyataan dan mempertanyakan makna “hope” atau harapan membuat saya tersenyum membacanya. Tersenyum (lega?), bahwa ada juga orang yang berani jujur mengenai kegalauan dalam hidupnya. Padahal biasanya orang berlomba-lomba berusaha menunjukkan kedamaian hidupnya, pencapaiannya terkini, dan kepasrahannya pada Sang Maha Pencipta yang menunjukkan tingginya kadar keimanan mereka.

Kegalauan Samuel memaknai harapan membawanya pada nasihat mulia yang kita juga kerap dapati selama hidup kita. Bahwa hidup itu cukup dijalani saja, jangan terlalu berharap. Dengan demikian maka hidup kita akan terasa lebih mudah. Lalu, benarkah dengan hidup menerima keadaan akan lebih tentram dan membahagiakan?

Didikan orang tua membawa saya untuk selalu berusaha maksimal untuk apa ingin dicapai namun tidak pernah menjadikannya suatu obsesi. Berdoa pada Tuhan, “Ya Alloh, aku berusaha semampuku, maka tolonglah tunjukkan jalan yang terbaik menurut-Mu, dan mudahkanlah jalan itu”, itu hasil didikan orang tua saya. Maka seumur hidup saya hingga sampai setua ini, saya percaya, semua pencapaian yang tidak seberapa ini merupakan jalan yang Tuhan ridhoi untuk saya.

Sudahkah saya merasa tentram? Ternyata tidak. Menjadi manusia pekerja dari pukul 7.30 hingga 17.00 selama lebih dari 13 tahun tidak menjadikan saya manusia yang tentram dan bahagia. Padahal dalam perjalanan itu saya kerap berdoa seperti yang diajarkan orang tua pada saya. Selama 13 tahun lebih itu sudah beberapa kali saya dihadapkan pada pilihan-pilihan yang membawa saya pada jalan sesuai petunjuk Alloh. Setidaknya itu sangkaan saya, sesuai doa yang saya panjatkan.

Jalani saja hidupmu dan jangan terlalu berharap. Karena harapan itu membebani diri. Jadi begitu? Menjadi pegawai, buat apa capek-capek berharap untuk manajemen yang lebih mumpuni? Buat apa berharap untuk pemimpin yang memiliki visi? Buat apa berharap untuk pekerjaan yang lebih bermakna? Semua itu hanya membebani diri saja. Membuat hidup kita tidak tenang. Lebih baik terima saja, jalani saja hidup ini apa adanya. Benar begitu?

Ternyata konsep ‘pasrah’ seperti itu menyesatkan ya. Kita bisa kecewa dengan atasan, patah hati dengan manajemen, putus arang dengan tugas pekerjaan sehari-hari. Lalu kita menerima saja. Karena berharap begitu melelahkan, maka bertahan saja sambil terus berdoa (sampai kapan?). Atau supaya tidak makin gila, kita saja yang menyesuaikan diri dengan lingkungan (krisis identitas). Maka kerap ditemui pegawai yang demikian menikmati statusnya padahal yang dilakukannya bul**hit semata, dan pegawai yang stress dengan kondisi yang terpaksa dijalaninya. Lalu, pegawai macam apakah saya?

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun