Mohon tunggu...
Sri Handayani
Sri Handayani Mohon Tunggu... Editor - Social Media Marketing

I like to talk about psychology, education, language, health, art and culture, and technology

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Menghindari Air Mata

2 Maret 2014   06:35 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:19 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kau jangan cengeng lagi, pesan ibu sebelum memberi kecupan terakhirnya di keningku.

Sejak itu aku menganggap air mata adalah simpanan berharga, karena di dalamnya terdapat warisan ibu. Kata-kata ibu. Tak ada juga air mata untuk kecupan terakhirnya malam itu.
“Tegar sekali anak itu. Tapi malang benar di usia delapan tahun sudah yatim piatu.”
“Ah, mungkin sudah kering air matanya. Terlalu hidup susah dia selama ini.”
Aku bukan tak mendengar kata-kata yang entah menaruh simpati atau mengejekku. Aku lelah. Di hari kematian ibuku, aku pergi ke kamar dan tidur di saat orang lain sibuk di rumahku. Menangis, meratap, berbela sungkawa. Aku tak ingin kelelahan hari ini. Aku ingin bangun pagi, mengantarkan ibu ke rumah barunya dengan wajah berseri. Kata ibu, kematian adalah puncak prestasi manusia setelah melewati kehidupan yang penuh rintangan. Aku yakin ibu benar, karena rintangan yang kami lalui dalam hidup terlalu berat. Kadang rasanya ingin mati saja. Ibuku sudah melewatinya. Ia pasti bahagia karena dekat dengan Tuhan yang sangat menyayanginya.
“Nak, di makam kau tidak boleh menangis. Makam bukan tempat meratapi kematian. Biarkan ibumu tenang ya, jangan menangis agar ibumu bisa memandangmu dari surga dengan gembira.” Seorang wanita tua berbadan kurus, Embah panggilannya, memberiku pesan sebelum jenazah ibuku diusung beramai-ramai.
“Tidak akan. Apa Embah tidak melihat dari bangun tadi aku sudah berseri-seri? Aku akan mengantar ibuku ke rumah baru. Ibuku akan tenang. Ibu akan beristirahat dari memikirkan makanan dan pakaian kami, dari marah karena kenakalanku, dari cacian orang-orang, juga dari kesedihan ditinggal Bapak, dari semua beban yang membuat ibu sedih selama ini. Aku senang ibuku akhirnya bisa beristirahat, Embah.”
Wanita tua itu berkaca-kaca, membelai rambutku dengan tangan keriputnya yang hitam terkena matahari. Wajahnya sayu seperti dia saja yang ditinggal mati ibunya.
“Kau pintar, ibumu pasti tenang walau harus meninggalkanmu. Kau punya segalanya untuk hidup mandiri kelak ketika kau dewasa, Prih.”
Embah tidak mampu lagi membendung air matanya, “Semua ada di sini, dan di sini.” katanya sembari menunjuk kepala dan dadaku, lalu menciumi pipiku dengan air matanya yang terus meleleh.
“Kenapa Embah menangis? Hari ini hari bahagia. Aku tidak akan menangis seperti Embah!”
Aku berlari menuju rombongan pengantar jenazah dan melihat jasad ibuku dikubur di rumahnya yang baru hingga semua proses selesai. Selepas dari sana, aku berlari ke sungai di dekat rumah kami, melepaskan pakaianku, dan menceburkan diriku di sana. Seluruh tubuhku basah. Aku berenang dari seberang yang satu ke seberang yang lain di air yang cukup tenang karena dalamnya itu. Aku ingin melepaskan segala kesedihan yang menyesak di dadaku. Sesak itu tak pernah hilang. Sakit itu semakin besar. Tapi aku tak pernah menangis. Tak pernah sejak hari itu.

Air mata adalah mutiara dalam kantung-kantung indah mata manusia. Kantung mata menyimpan segala kesedihan dan kebahagiaan yang pada akhirnya mengucurkan linangan air mata. Di tetes air mataku, ada warisan ibu yang tak ingin kuberikan pada siapapun. Air mata ini adalah warisan yang ingin kumiliki sendiri.
Jauh sebelum ibuku meninggal, hidupku telah terlalu dekat dengan kekerasan dan kesusahan. Setiap hari aku membantu ibu mencucikan baju tetangga di sungai dekat rumah kami. Tidak seperti laundry di tempat orang-orang kaya, kami masih mencuci dengan tangan. Kami hanya dibayar lima ratus rupiah per kilo yang kadang tidak dibayar atau dikurangi karena ada baju yang hilang terseret air waktu aku mencucinya, atau cucian kurang bersih. Pengurangan harga akan lebih besar lagi ketika musim hujan dengan alasan terlalu lama ‘jadi’ dan kadang berbau apek.
Kami biasa dimaki, dicibiri, dipandang nyinyir, atau didatangi orang-orang berduit sebagai bahan belas kasihan. Ketimpangan yang terjadi antara kami yang tinggal di rumah kumuh dengan mereka di kawasan elit dekat area ini sering membuat kami justru curiga dan sangat sensitif terhadap bantuan macam apapun. Walau begitu, tidak sedikit dari kami yang memang menanti bantuan itu karena benar-benar kesusahan. Ibu selalu mengajarkan padaku untuk berdikari. Berdiri di atas kaki sendiri. Tidak menggantungkan orang lain.

“Bunda, menangislah jika Bunda ingin menangis. Ayah selalu menyediakan tempat di bahu ini, di dada ini, di seluruh ruang yang Ayah miliki untuk menampung keluh kesah dan air mata Bunda. Ayah tahu hidup ini menyakitkan.” Suamiku hampir memohon di hadapanku hanya agar aku menangis, seperti puluhan atau ratusan atau entah berapa kali yang sering ia ucapkan kepadaku setiap masa sulit dalam perjalanan pernikahan kami.
Aku tersenyum dan mendekap dada suamiku. “Ayah capek yah? Kenapa Ayah beranggapan hidup ini menyakitkan? Selalu ada senyum dalam hidup seperti halnya tangis dan tawa. Jangan lupa Ayah, kita pernah dan sering punya saat-saat bahagia dalam hidup kita.”
“Selalu ada tangis dan tawa…dan senyum. Tapi Bunda tak pernah menangis..” Matanya menatap wajahku yang masih menempel di dadanya.
“Ayah menikahiku karena aku tak pernah menangis.”
“Dulu aku tak pernah melihat wajahmu ketika bersedih tanpa air mata. Dulu Bunda di mataku adalah gadis yang selalu ceria. Setelah menikahimu aku berpuluh-puluh kali melihat wajah itu. Dadaku sesak setiap kali melihatmu sakit karena kepedihan hidup yang Bunda jalani selama ini. Juga setelah Bunda beroleh aku, aku tak juga bisa merubah keadaan. Menangislah, Ayah takut apa yang terasa di hati Bunda seperti magma yang terhalang keluar dari perut bumi.”
“Hanya seperti jerawat yang masih terpendam.”
“Tetap sakit kan?”
Ah, lucu sekali melihat suamiku merengek seperti itu.
“Sedikit.” jawabku dengan salah satu senyum terbaik yang pernah kuberikan pada suamiku.
Aku mengecup pipinya, mengucapkan selamat malam, dan menutup mata meninggalkan suamiku yang akhirnya terdengar mendesah putus asa dan merapikan selimut kami berdua.

“Dengar ya Mas, aku tidak pernah menangis setelah berusia delapan tahun.” ujar Prihatin, istriku, di awal pernikahan kami sambil mengerling manja. Sepertinya ia bangga sekali dengan hal itu. “Dalam air mataku ada warisan pesan Ibu.” lanjutnya, selalu begitu. Ia beranggapan bahwa air matanya adalah harta yang paling berharga yang harus dijaganya selama hidup. Di sana ada pesan ibu mertuaku, bahwa ia tak boleh cengeng.
Pada tahun pertama pernikahan kami, kami dikaruniai janin di kandungan istriku. Selama kehamilan, istriku ceria sekali seperti yang selama ini aku lihat. Setelah sembilan bulan dua puluh hari –kata dokter kelahiran pertama terkadang telat beberapa hari atau minggu, ia meringis-ringis sehari semalam hingga terjadi kontraksi pertamanya. Sepanjang jalan, di dalam mobil tetangga yang mengantarkan kami ke bidan, istriku mencengkeram baju dan perutku dan kadang mencakar lenganku. Terkadang ia mengerang pelan menahan sakit, tapi ia tak pernah menangis.
Proses kelahiran anak pertama kami akan dijalani dengan prosedur normal tanpa operasi, namun waktunya cukup lama. Istriku harus menunggu 12 jam merintih-rintih hingga bidan mengatakan persalinan dimulai. Istriku ingin aku menemaninya. Aku pun menemaninya.

Aku tersenyum ketika perlahan-lahan istriku membuka mata. Kuusap keningnya yang basah oleh keringat, lalu kukecup kening itu, lalu punggung tangannya yang lemah. Dia pun tersenyum lemah.
“Normal, Mas?”
Aku diam, menelan ludahku sambil menatap matanya yang juga terbuka lemah, wajahnya yang pucat namun tampak berseri bahagia. Aku merasakan ngilu di ulu hati. Tapi aku harus mengatakannya. Sekarang.
“Tuhan…Tuhan masih menunda pemberiannya untuk kita. Lain waktu kita akan mendapatkannya lagi, Sayang.” bisikku menahan linangan airmata, menyembunyikan wajahku, membenamkannya di samping wajah istriku. Aku memeluknya, menenangkannya, menanti segala reaksi darinya. Tapi ia diam. Aku bisa merasakan rahangnya mengeras di pipiku. Tangannya sedikit mengejan. Aku mengangkat wajahku yang kini telah basah oleh keringat sekaligus airmata. Istriku..
Istriku tidak pernah menangis saat dan setelah kematian anak pertama kami. Namun, semenjak saat itu ia terdiam dan sering merenung. Ia sering menghabiskan waktu memandang perlengkapan bayi di lemari pakaian kami. Ia menjadi terlalu puitis dan senang menuliskan puisi-puisi sendu, mendengarkan lagu-lagu pilu. Ngilu betul aku melihatnya. Rasa ngilu yang sama seperti ketika aku melihat ekspresi wajahnya di hari kelahiran anak kami yang gagal dulu. Aku tahu, ia bukan tidak merasakan sakit. Ia bukan tidak pernah menangis. Rasa sakitnya ia simpan begitu dalam, sangat dalam. Itulah tangisan yang ia punya. Ia tidak betul-betul tak pernah menangis.

Akhirnya aku mendapati kembali ekspresi bahagia istriku ketika ia hamil untuk kedua kalinya, di tahun kedua pernikahan kami. Syukur, anak kedua kami lahir dengan normal. Namanya Mutiara. Mutiara saja. Dia enerjik seperti ibunya. Dan keras kepala seperti aku. Tapi dia akan menjadi anak yang pandai dan mandiri suatu hari nanti, begitu doa kami.
Masih seperti sebelumnya, istriku tak pernah menangis. Aku sering mendengar cerita kawan bahwa istrinya sering menangis, memukul-mukul dada suaminya, dan berakhir dengan godaan sang suami. Tangisan itu bisa menjadi hal romantis dalam rumah tangga mereka. Banyak istri yang begitu.
Aku sendiri senang mempunyai istri yang tegar. Sangat senang, sangat cinta. Aku tidak suka istri yang terlalu sering menangis. Tapi, istriku tidak pernah menangis. Hm, dia menangis dengan sangat menyakiti diri. Aku bisa ikut merasakan sakitnya seperti rasa sakit yang ia tahan ketika anak pertamanya –yang lahir selamat- masuk rumah sakit karena diare, atau ketika pertama kali Ara mengatai ibunya Babi seusai bermain dengan anak tetangga, juga ketika aku dipecat dari pekerjaanku sebagai penjaga toko buku, dan seperti malam ini ketika ia telah terlalu letih mengurus anak dan keluarga serta membantu bekerja di catering tetangga untuk mencukupi kebutuhan keluarga selama aku mencari pekerjaan yang baru.
Tadi ia pulang dengan wajah itu –yang membuatku selalu ngilu. Ia baru saja dimarahi pemilik catering karena salah menghitung jumlah pesanan, sehingga mereka mendapat komplain dan harus menyusulkan kekurangan itu. Ah, tega sekali pemilik catering itu memarahi istriku yang lembut dan tegar. Dan cantik. Dan manis. Dan menawan. Ah, segalanya. Aku meminta istriku untuk berhenti dan berjanji akan segera mendapat pekerjaan baru. Namun bukan istriku jika dia berhenti. Dia menolak permintaanku dengan halus. Bahkan juga permintaanku untuk sekali itu saja –atau beberapa kali pun tak apa- agar ia menangis di dekapanku dan meluapkan segala kepedihannya selama ini. Ia hanya memelukku, mengumpamakan sakitnya seperti jerawat yang masih terpendam dalam kulit, mengecup pipiku lembut, lalu tertidur. Cinta, menangislah..

Aku berlari tergesa-gesa sambil menggendong Ara yang kini telah berumur lima tahun. Ara terus bertanya-tanya, “Ayah mana, Bun? Bunda, Ayah mana…” Tak lama kemudian ia telah terisak sambil terus menanyakan hal yang sama. Ayah mana, Bun?
Aku sungguh tidak tahu harus menjawab apa. Aku terus berlari sambil menggendong anakku. Suamiku! Suamiku! Kumohon, Tuhan…tidak lagi….
Aku berharap ini hanya mimpi, namun aku bisa merasakan peluh di pipi dan tubuhku nyata, teriakan dan tangisan anakku nyata, kerumunan orang di depanku nyata. Jasad berlumuran darah yang tergeletak ditutupi kain jarit di pinggir jalan pun nyata. Aku terduduk lemas, jatuh di depan mayat suamiku. Lagi, setelah Ayah dan Ibuku…Lagi…
“Wah, kasihan sekali mereka. Anaknya masih kecil sudah harus menjadi yatim. Istrinya juga ternyata masih muda.”
Perkataan-perkataan itu lagi…
Semua terulang kembali. Hidupku serasa hanya mengulang dan mengulang rasa pahit yang selama ini kutahan dan kutahan. Aku mencoba tegar dan tegar, namun aku tak kuat lagi. Air mataku melinangi pipi melihat tubuh suamiku terbujur. Lelaki ini tak meninggalkanku dalam keadaan tenang. Ibu, aku tak kuat lagi.
Warisan ibu berjatuhan, kata-katanya terhempas seketika. Aku menahan sesak di dadaku seakan melihat suamiku. Ia tersenyum. Istrinya telah menangis di hadapannya. Suamiku, ini hadiah yang bisa kuberikan padamu. Ini air mataku untuk menemanimu.

Kau jangan cengeng lagi, pesan ibu sebelum memberi kecupan terakhirnya di keningku.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun