Saya berusaha tertib dalam berkendara di jalanan Jakarta. Selain tak ingin merogoh kocek karena kena tilang, saya juga berusaha mematuhi peraturan yang ada. Semacet apapun saya tidak masuk jalur busway. Kalaupun saya tidak sengaja masuk ke jalur tersebut, saya akan segera keluar.
Sudah berusaha berhati-hati rupanya saya tak terbebas dari yang namanya tilang. Ini kedua kalinya saya kena tilang di Jakarta. Dua-duanya saya merasa seperti jebakan. Sampai sekarang saya bingung, pengguna jalan yang salah atau polisi yang bebal dalam memasang rambu-rambu lalu lintas.
Pengalaman pertama saya kena tilang di kota ini terjadi di Jl. Letjen S. Parman, tepatnya di perempatan Tomang, dekat Taman Cattleya. Saya dan teman naik motor menuju Jakarta Barat untuk mencari kos-kosan. Kami baru pertama kali melewati ruas jalan tersebut.
Ada banyak jalan bercabang di situ, salah satunya masuk ke arah Toll Jakarta-Tangerang. Memang di dekat itu ada petunjuk arah dengan banyak cabang, salah satunya bertuliskan “toll Jakarta-Tangerang”. Kami sempat ragu di cabang yang mana jalan toll tersebut.
Logika saya, umumnya pintu toll akan terlihat. Kalau tidak terlihat pintu toll, polisi biasanya memasang rambu dengan jelas bertuliskan “masuk toll”. Tapi di situ tidak ada tulisan, maka pikir saya, itu jalanan biasa (bukan toll).
Akhirnya kami berbelok ke kiri. Setelah terlanjur masuk, kami baru sadar bahwa itu jalan toll. Kami sempat bingung. Tak ada pilihan lain selain berbalik arah. Hebatnya sudah ada polisi yang menunggu kami. Di dekat situ kan memang ada kantor polisi.
Kami sudah berusaha menjelaskan bahwa kami baru pertama kali melewati jalur tersebut, tapi polisi itu berkata, “Kalau setiap orang baru lewat, trus nggak ditilang, kapan mau tertibnya?”
Ok, kami mematuhi prosedur yang ada dan menganggap itu kesalahan kami walau dengan hati dongkol.
Setelah itu, hampir setiap hari saya melewati lajur yang sama. Saya selalu was-was ketika sampai di perempatan Tomang. Jangan sampai masuk toll dua kali. Pernah suatu hari saya hampir masuk ke situ lagi, tapi segera sadar dan segera berbelok, lalu jalan lurus.
Setelah berkali-kali, saya baru sadar bahwa permasalahan sebenarnya cukup sederhana. Tidak ada tulisan “masuk toll” yang umumnya terdapat di belokan-belokan jalan toll lain. Tulisan ini umumnya ada ketika pintu toll masih agak jauh dari ujung belokan, sehingga tak tampak. Ini lazim diberikan untuk memberikan peringatan kepada para pengguna jalan, “Jangan masuk atau berbelok di sini. Di depan sana ada pintu toll yang tidak kelihatan dari sini.”
Pengalaman ditilang yang kedua belum lama terjadi. Saya kena tilang ketika hendak pergi ke Kampus Yarsi di Cempaka Putih. Sampai di perempatan Senen, saya belok kanan. Saya juga baru pertama kali melewati jalur ini dengan motor.