[caption id="attachment_326257" align="aligncenter" width="615" caption="Ilustrasi/ Admin (Kompas.com)"][/caption]
Beberapa bulan yang lalu saya masih dalam proses menyelesaikan skripsi. Skripsi saya membahas tentang pengembangan buku panduan pronunciation bahasa inggris untuk guru sekolah dasar. Pengembangan buku ini diawali dengan observasi saya bahwa guru di sekolah dasar yang saya observasi melakukan banyak kesalahan pengucapan kata dalam mengajar bahasa Inggris. Padahal, terlepas dari dihapusnya pelajaran bahasa Inggris di sekolah dasar di Indonesia, secara umum guru merupakan model utama dalam pengajaran pronunciation di tingkat sekolah dasar. Buku yang saya rancang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan guru dalam mengajar pronunciation. Ada tiga kebutuhan pokok yang dipenuhi dalam buku yang saya rancang, antara lain kebutuhan guru akan pengetahuan dasar pronunciation, pengetahuan dasar tentang mengajar pronunciation (saya menyajikannya langkah demi langkah mulai dari perencanaan hingga evaluasi), serta memberikan akses terhadap guru dalam mendapatkan sumber-sumber mengajar yang kreatif dan inovatif seperti lagu, cerita, permainan, dan sebagainya.
Untuk memenuhi kebutuhan pertama, yaitu pengetahuan dasar pronunciation baik secara teori maupun praktis, saya membutuhkan seorang native speaker untuk memberikan contoh pronunciation yang baik. Dosen saya dengan sangat baik hati menawarkan bantuan seorang temannya dari Monash University yang sedang berkunjung ke Indonesia untuk menjadi dosen tamu di beberapa universitas. Paul, nama bule itu, memberikan kesempatan pada saya untuk melakukan rekaman di sela istirahat makan siangnya. Walaupun pada akhirnya rekaman ini tidak saya gunakan dalam draft akhir buku yang saya rancang, saya punya cerita tersendiri tentang interaksi saya dengan Paul ketika itu yang mendasari pemikiran saya dalam tulisan ini.
Sebelum melakukan rekaman, saya sudah menyiapkan skrip yang perlu dibaca Paul. Isinya adalah contoh bunyi-bunyi dalam bahasa Inggris dan contoh kata yang mengandung bunyi-bunyi tersebut. Paul menanyakan beberapa hal teknis sebelum memulai rekaman seperti kapan dia harus berhenti, berapa jeda sunyi antara satu kata dengan kata lain, dan sebagainya. Sebelum memulai membaca bunyi-bunyi dalam bahasa Inggris, Paul sempat berhenti dan nampak berpikir.
“How should I say these?” tanyanya pada saya sembari menunjuk kolom yang berisi bunyi-bunyi diftong seperti /ei/, /ai/, dan sebagainya. Saya pun memberikan contoh dan memang terasa sulit mendapatkan bunyi yang sama antara saya dan Paul. Saya yang seorang asli Indonesia dan Paul yang asli Australia ternyata mempersepsikan bunyi /ei/ dengan sangat berbeda. Perbedaan bunyi dan pengaruh aksen lokal sebenarnya bisa diterima selama dapat dipahami, sehingga tidak mengganggu proses komunikasi. Namun, karena dalam penelitian ini saya membutuhkan contoh yang baik, maka saya memerlukan contoh bunyi yang mendasar.
“I’m not so linguistics. You know, we don’t study linguistics in our country, so this is the most difficult part for me.” katanya sembali tertawa kecil.
“It’s ok.” Kata saya.
Karena kebaikan Paul pula, proses rekaman hari itu berjalan dengan lancar. Saya mencatat bahwa menurut keterangan Paul, berbeda dengan di Indonesia, orang di Australia yang notabene menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar sehari-hari, tidak mempelajari linguistik bahasa Inggris di sekolah. Linguistik hanya dipelajari oleh orang-orang yang memang ingin mempelajari bahasa dan sastra secara mendalam.
Kejadian lain juga pernah saya alami ketika seorang bule Australia mengajar bahasa Inggris di komunitas tempat saya biasa berkumpul dengan teman-teman. Katie, nama bule itu, mengajak kami bermain dan bercakap-cakap dalam bahasa Inggris. Selama belajar bersama, Katie beberapa kali menanyakan bagaimana ejaan untuk kata tertentu, salah satunya curricula. Sepaham dengan Paul, Katie juga memberikan penjelasan yang sama. “Walaupun kita sehari-hari pakai bahasa Inggris, orang Australia tidak pintar mengeja.” Katanya dengan bahasa Indonesia yang fasih.
“Katanya kalau pelajaran bahasa Inggris di Australia tidak belajar grammar ya?” timpal seorang teman saya.
“Ya, kita tidak belajar itu secara khusus.”
Berbeda dengan negara tersebut, pelajaran bahasa Inggris di Indonesia malah sangat kental dengan grammar. Ketika saya mendaftar menjadi pengajar di sebuah bimbingan belajar, staf yang melakukan tes mengajar meminta saya menjelaskan satu persatu tenses dalam bahasa Inggris. “What?” kata saya dalam hati. Tes itu langsung menyurutkan minat saya mengajar di sana. “I don’t want to teach grammar. I’m not good at it and I don’t think we need to make it the most special thing to learn in English.” Kata saya dalam hati. Di bimbingan belajar lain, judul tiap unit dalam modul siswa bersifat ‘sangat grammar’ seperti past continuous, past perfect, dan sebagainya. Bahkan, siswa kelas 3 smp di bimbel tersebut mendapatkan pelajaran tenses yang menurut saya advanced namun tidak terlalu praktikal.
Mengajarkan grammar tidak salah, namun menitikberatkan atau bahkan mengkhususkan pembelajaran grammar bukanlah keputusan bijak dalam mengajar bahasa Inggris. Sayangnya, inilah yang terjadi dari masa ke masa dalam sejarah pengajaran bahasa Inggris di Indonesia. Barangkali, ini juga yang membuat akhir-akhir ini bahasa Inggris menjadi momok, tidak jauh berbeda dengan matematika jaman dulu. Hal ini terlihat sekali terutama di tingkat SD, hingga pelajaran bahasa Inggris dihapus pada kurikulum 2013. Pelajaran ini memang tidak benar-benar dihapus, namun berganti status menjadi ekstrakurikuler. Salah satu sebab dihapusnya pelajaran ini adalah karena para siswa dikabarkan merasa terbebani dengan pembelajaran bahasa Inggris, padahal dalam level ini mereka yang bahasa utamanya adalah bahasa daerah sedang mulai mempelajari bahasa Indonesia.
Mengapa bahasa Inggris di SD menjadi momok? Kalau kita membaca pedoman pengajaran bahasa Inggris di sekolah dasar dari Depdiknas tahun 2008, sebenarnya bahasa Inggris tidak begitu menyeramkan. Pembelajaran bahasa Inggris di sekolah dasar lebih ditujukan untuk membangkitkan minat siswa belajar bahasa Inggris dan mempersiapkan pembelajaran pada level berikutnya (SMP). Untuk itu, satu faktor yang penting adalah membuat pembelajaran bahasa Inggris terasa menyenangkan bagi siswa. Hal inilah yang nampaknya terkadang dilupakan oleh para pengajar bahasa Inggris di sekolah dasar. Buku-buku bahasa Inggris yang dipakai sebagai referensi di sekolah dasar yang saya tahu sudah berisi materi yang sangat lengkap dan rapat. Artinya, isi yang disajikan lebih lengkap dan rapat. Artinya lagi, materi yang perlu dikuasai siswa lebih banyak, tuntutan belajar lebih banyak, dan sebagainya. Padahal seyogyanya kemampuan berbahasa adalah suatu ketrampilan dan itu hanya dapat dikuasai dengan latihan berulang-ulang. Bentuk latihan berbahasa yang paling baik adalah latihan dalam berkomunikasi, bukan menyelesaikan soal. Oleh karena itu, bentuk pembelajaran konvensional yang menitikberatkan pada materi yang banyak dalam satu buku dan pemberian soal-soal bisa jadi merupakan salah satu sebab bahasa Inggris menjadi momok di sekolah dasar.
Hal di atas hanya salah satu contoh dan salah satu sebab saja. Masih banyak masalah lain seperti guru yang tidak memiliki latar belakang pengajaran bahasa Inggris, tuntutan guru untuk membantu siswa lulus dalam mengerjakan UAN yang bersifat paper based, dan lain-lain. Dalam kurikulum 2013 nanti, bahasa Inggris tidak lagi menjadi mata pelajaran utama. Bahasa Inggris hanya menjadi ekstrakurikuler yang boleh diajarkan atau tidak, tergantung dari kebijakan masing-masing sekolah. Walaupun begitu, tidak dipungkiri kebutuhan akan pengajaran bahasa Inggris sejak dini masih tinggi. Karena itu banyak sekolah masih menyelenggarakan bahasa Inggris. Dengan statusnya sebagai ekstrakurikuler, pengajaran bahasa Inggris tidak lagi terikat dengan berbagai batasan dan tuntutan. Alih-alih bingung karena tidak ada lagi silabus sebagai panduan pengajaran di sekolah, semoga guru-guru bahasa Inggris di sekolah dasar yang masih menyelenggarakan dapat lebih berinovasi tanpa tekanan ketentuan UAN. Saatnya mengembalikan masa sekolah dasar sebagai masa siswa menikmati pembelajaran, dengan tugas utama bermain sambil belajar; bukan mengerjakan soal-soal functional dan/atau gramatikal. Bule Australia saja tidak punya perfect grammar tapi proses komunikasi tetap dapat berjalan lancar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H