Setelah hampir lima kilometer menyusuri sungai selama sekitar 20 menit sejak perjalanan awal tadi, perlahan terhamparlah Danau Tempe nan luas di hadapan kami.
Kabut tipis masih tersisa di sebagian permukaan danau, bergerak pelan laksana suasana mistik. Angin dingin menghempas kami, sementara dari arah belakang kami, sinar putih mentari mulai menyeruak perlahan.
"Jalan pelan-pelan saja pak ke arah sana," saya menginstruksikan pembawa perahu kami sambil menunjuk ke arah barat danau sebagai tujuan, yang sesungguhnya kami tidak punya tempat tujuan.
Sesekali kami membelah kerumunan eceng gondok yang tersebar cukup banyak di permukaan air. Tujuan kami sebenarnya mau melakukan  pengamatan burung-burung air.Â
Di sinilah letak tantangannya. Posisi kami agak sulit di perahu ini, tapi ini merupakan pilihan terbaik.Â
Kami dapat melintas danau, menuju ke arah mama pun yang kami inginkan di danau ini.Â
Di leher kami tergantung teropong binokular dan saya sendiri membawa seperangkat kamera SLR plus lensa panjang.
Membawa seperangkat kamera SLR dalam perahu tanpa cadik seperti ini susah-susah gampang, apalagi dengan lensa panjang yang cukup berat.Â
Ada juga tripod yang tidak mungkin digunakan dalam perahu. Susah memperoleh kestabilan, apalagi dalam suasana cahaya yang belum terang sekali.
Kekhawatiran kapal terbalik atau alat jatuh ke air sangatlah tinggi.Â
Ketika ada objek menarik, tidak serta merta juga perahu bisa langsung dihentikan seperti kendaraan di darat.Â