2008. Halmahera, Maluku Utara.
Berbicara tentang sholat di kapal, bagi saya  banyak pengalaman cukup beragam. Paling enak dan nyaman tentunya di kapal-kapal PELNI. Selain terdapat mushola yang besar dan nyaman, imam yang tetap dengan bacaan yang bagus, serta azan berkumandang setiap waktu sholat sehingga kita yang dalam perjalanan tidak bingung apakah ini sudah mulai waktu sholat atau belum.Â
Namun memang tidak semua kapal seperti itu. Adakalanya kita berhadapan dengan waktu dan kondisi yang tidak ideal, sudah begitu tidak ada lagi dispensasi jama'. Salah satunya pernah saya alami di sebuah perahu kecil se-pas badan.
---
Malam itu kami harus tidur cepat. Teman saya Izer telah mengatur segala keperluan transportasi kami untuk berangkat pagi-pagi sekali dari Desa Labi-Labi, tempat kami bermalam saat itu, untuk menuju Desa Lolobata. Kedua desa berada di pesisir mulut Teluk Kao, semenanjung timur laut Pulau Halmahera, Maluku Utara.
"Oke, perahu deng minyak so siap.., besok torang berangkat sekitar jam tiga pagi yaa", terang Izer kepada kami semua.
"Sippp.." Kami tidak banyak berkomentar, hanya mengiyakan dan segera melanjutkan packing segala barang-barang tim dan pribadi. Dalam beberapa hari ini, kami melakukan survei persepsi masyarakat desa dan sedikit mengisi waktu dengan memberikan penyadartahuan singkat di kantor desa dan sekolah setempat mengenai konservasi keanekaragaman hayati Maluku Utara.
Besok kami akan melanjutkan perjalanan dengan misi yang sama di desa berbeda. Sebenarnya terdapat jalan yang menghubungkan Desa Labi-labi dengan Desa Lolobata. Namun cuma jalan setapak. Bapak Desa lebih menyarankan kami untuk menyewa kapal nelayan, karena tidak ada motor ojek yang dapat mengantar kami semua.
Kenapa harus jalan malam, tidak bisakah siang-siang saja? Selain panas kalau siang, memang pagi hari menurut Pak Desa, suasana laut cenderung tenang, sehingga diharapkan perjalanan dapat lebih lancar dan aman.
Setengah tiga pagi buta kami sudah bangun semua. Setelah meminum teh hangat dari ibu desa yang selalu ramah, kami akhirnya berjalan beriringan menuju pantai berpasir putih di sisi dermaga desa.Â
Pemilik kapal ternyata belum datang. Sedikit gelisah segera menyergapi kami ditemani dingin angin laut dan suara kecil ombak yang terdengar lembut, tanda laut tenang. Penantian kami untungnya tak lama.
Baca juga: Angin Barat, Kapal Kayu, dan Yamdena
Bapak pemilik perahu yang kami sewa akhirnya datang dengan membawa satu dirigen besar bahan bakar perahu kami. Â Sang bapak segera menuju perahu yang terikat di sebuah batu karang besar.Â
Setelah mengisi minyak dalam tangki mesin, melepas ikatan tali, kami pun segera mengatur barang-barang kami. Barang-barang yang tidak boleh basah, kami tempatkan di tengah perahu dengan ditutupi terpal.
Setelah semua beres, sebagian dari kami segera naik dan sebagian lain ikut mendorong perahu bercadik ini sampai terambang di air laut. Kemudian kami semua naik dan mesin pun dinyalakan, alhamdulilah lancar.Â
Kami semua bertujuh dengan bapak pemilik perahu. Perahu kecil kami sepertinya cukup untuk sekitar sepuluh orang, namun ditambah dengan barang-barang kami, sepertinya ini sudah maksimal.
Perahu yang kami tumpangi ini sesungguhnya perahu kayu berukuran kecil dengan panjang sekitar enam meter. Sepasang cadik atau semang-semang di kanan kiri menyeimbangkan perahu ini.Â
Penggerak perahu menggunakan mesin dalam, bukan mesin tempel pun bukan mesin ketinting. Pada bagian mesin ini ternaungi dengan atap terpal kecil.Â
Kami duduk satu atau berdua sejajar pada papan-papan yang dipasang melintang pada ceruk perahu. Bapak pemilik perahu tentu duduk di bagian belakang untuk mengatur kemudi. Saya di depan beliau.
Bismillah, perlahan perahu kami akhirnya melaju ketika hampir setengah empat pagi. Kami sedikit menjauhi pantai kemudian berbelok ke selatan. Laut sedemikian tenang, hampir tidak ada riak dan gelombang pecah kecuali akibat pergerakan perahu kami. Hembusan angin pun menerpa kami begitu lembut namun tetap dingin.Â
Cahaya perak berkilauan, pantulan dari sinar bulan yang menerpa percikan air laut yang terbelah oleh ujung perahu dan cadik-cadiknya. Merasa dan melihat laut menjelang pagi seteduh ini, memang sungguh damai.
Bagi kami saat itu, satu-satunya hal yang mengganggu dalam suasana syahdu ini adalah, suara mesin perahu yang "kletak-kletok" cucup memekakkan telinga. Apalagi bagi kami yang duduk paling dekat mesin, termasuk saya. Tapi apa boleh buat, tanpa mesin ini, perahu kami tentu tidak akan melaju.
Karena kami melaju ke arah selatan, maka cahaya fajar tidak akan bisa kami lihat langsung muncul dari balik cakrawala karena terhalang Pulau Halmahera di sisi timur kami. Namun pukul lima lewat, jelas-jelas sudah memasuki waktu subuh di wilayah Maluku Utara saat itu.
Untuk sholat subuh, mau tidak mau saya berwudhu dari air laut yang ada di kanan kiri saya. Walaupun tanpa menjulurkan kaki sampai mencebur ke laut, saya semaksimal mungkin menyempurnakan wudhu saya.
Sholat tentu dalam keadaan duduk, tidak bisa berdiri. Secara teknis tidak ada kendala berarti. Saya tidak khawatir juga perahu akan oleng ke kanan atau kiri, karena dari tadi memang terasa sangat stabil. Suasana tenang ini, tentu membawa nikmat tersendiri dalam sholat.
Kantuk-kantuk mulai terasa ketika jelang matahari terbit. Beberapa dari kami bisa saling ngobrol biasa, namun harus dengan suara keras. Apalagi jika duduk berjauhan.Â
Nah, saat cahaya sudah menyeruak, laut mulai tampak jelas membiru, dan kami masing-masing sudah dapat melihat jelas hidung teman-teman kami semua, tiba-tiba salah satu teman kami, wanita, berteriak.
"Aduhhh, pengen p*p*s..." Sontak kami semua beranjak kaget dan segera mengomel. Jelaslah, kami tidak mungkin menepi hanya untuk urusan ini. Dengan saling berteriak, baku balas sahutan pun terjadi.
"Kenapa tidak tadi sebelum berangkat?"
"Sudah, tapi gimana, ini pengen lagi."
"Makanya jangan banyak minum."
"Ah, tarada kong.."
"Apa..., itu botol minum so mo abis"
"Sudah, cepat gimana ini?"
"Tahan.." inti perbincangan ini adalah, pertama meyakinkan si punya hajat bahwa kami tidak bisa berhenti menepi. Kedua, lebih baik tahan saja sampai kami semua tiba di tujuan, namun itu masih beberapa jam lagi.
Akhirnya karena tidak bisa ditahan lagi, keluarlah kata-kata yang mengagetkan kami semua. "Ngoni semua babalik".
Sudahlah, saya tidak perlu meneruskan cerita ini secara rinci. Intinya kami semua akhirnya berbalik arah duduk, kecuali bapak pemilik kapal karena tidak mungkin ikut berbalik dan hanya menggunakan mata bathin mengarahkan kapal. Si empunya hajat menunaikan hajatnya, selesai.
Kami akhirnya tiba di Desa Lolobata sekitar sembilan pagi. Matahari telah cukup tinggi dan hangat pagi sudah mulai berubah panas. Namun perjalanan lancar tanpa hambatan. Kami bertemu sekretaris desa pagi itu juga, menjadwalkan pertemuan warga  yang akan kami laksanakan esok hari serta meminta izin untuk melakukan wawancara dengan beberapa warga desa dalam survei persepsi masyarakat  yang akan kami lakukan.
Perjalanan pagi hari dengan kapal memang selalu menyenangkan. Selain laut yang tenang atau teduh laksana membelah gelombang kaca, suasana pagi juga selalu membawa kesegaran, semangat, dan harapan perjalanan lancar.
Sesungguhnya, banyak daerah di Indonesia yang masih mengandalkan perjalanan antar desa menggunakan kapal-kapal seadanya yang mereka miliki. Laut menjadi penghubung antar pulau maupun antar desa dalam satu pulau.Â
Maka kadangkala wajar ketika di beberapa tempat saya menemukan warga desa yang sudah cukup berumur, namun seumur hidupnya mereka tidak pernah keluar dari desa mereka, kecuali ke laut itu sendiri untuk mencari kebutuhan hidupnya, dan itu sudah cukup.*
Baca juga: Â Porter Panggul dan Ikhtiar Pelampung
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H