"Ah, tarada kong.."
"Apa..., itu botol minum so mo abis"
"Sudah, cepat gimana ini?"
"Tahan.." inti perbincangan ini adalah, pertama meyakinkan si punya hajat bahwa kami tidak bisa berhenti menepi. Kedua, lebih baik tahan saja sampai kami semua tiba di tujuan, namun itu masih beberapa jam lagi.
Akhirnya karena tidak bisa ditahan lagi, keluarlah kata-kata yang mengagetkan kami semua. "Ngoni semua babalik".
Sudahlah, saya tidak perlu meneruskan cerita ini secara rinci. Intinya kami semua akhirnya berbalik arah duduk, kecuali bapak pemilik kapal karena tidak mungkin ikut berbalik dan hanya menggunakan mata bathin mengarahkan kapal. Si empunya hajat menunaikan hajatnya, selesai.
Kami akhirnya tiba di Desa Lolobata sekitar sembilan pagi. Matahari telah cukup tinggi dan hangat pagi sudah mulai berubah panas. Namun perjalanan lancar tanpa hambatan. Kami bertemu sekretaris desa pagi itu juga, menjadwalkan pertemuan warga  yang akan kami laksanakan esok hari serta meminta izin untuk melakukan wawancara dengan beberapa warga desa dalam survei persepsi masyarakat  yang akan kami lakukan.
Perjalanan pagi hari dengan kapal memang selalu menyenangkan. Selain laut yang tenang atau teduh laksana membelah gelombang kaca, suasana pagi juga selalu membawa kesegaran, semangat, dan harapan perjalanan lancar.
Sesungguhnya, banyak daerah di Indonesia yang masih mengandalkan perjalanan antar desa menggunakan kapal-kapal seadanya yang mereka miliki. Laut menjadi penghubung antar pulau maupun antar desa dalam satu pulau.Â
Maka kadangkala wajar ketika di beberapa tempat saya menemukan warga desa yang sudah cukup berumur, namun seumur hidupnya mereka tidak pernah keluar dari desa mereka, kecuali ke laut itu sendiri untuk mencari kebutuhan hidupnya, dan itu sudah cukup.*