MEMBANGUN PERADABAN TINGGI MANUSIA NEGERI
Juara 3 Lomba Esai Guru PGMI Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia
Guru bahasa Indonesia saya berkata “Pintar itu relatif, pengetahuan itu wajib”. Ini merupakan jawaban dari pertanyaan saya –apa yang dicita – citakan oleh seorang guru, terlepas dari definisi guru dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) “1993:288” yang mengatakan bahwa, guru merupakan orang yang pekerjaann dan mata pencahariaannnya adalah mengajar.
Menurut saya definisi tersebut kurang relevan dengan tujuan pendidikan nasional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa Dari perkataan guru saya tersebut, saya menarik kesimpulan bahwa itu berarti belajar saja itu tidak cukup, jika tidak disertai dengan berpikir. Teringat perkataan Filsuf besar Prancis Rene Descartes, “Aku berpikir maka aku ada”.
Tak hanya itu, dalam ilmu logika islam (manthiq), yang dikatakan bahwa al insan huwa hayawanun nathiq, yang berarti bahwa manusia adalah hewan yang berpikir (animal educabili). Sehingga dapat dikatakan bahwasannya seseorang dapat dikatakan manusia apabila ia dapat berpikir dengan baik.
Seorang penyiar televisi swasta suatu kali telah mewawancarai seorang asli suku Baduy, yang diterjemahkan dari bahasa Sunda, jawabannya sebagai berikut: “Apa untungnya sekolah ? Apabila anak sekolah, nanti jadi pintar. Orang pintar cenderung membodohi orang. Jadi, untuk apa sekolah kalau nantinya menjadi orang yang membodohi orang lain?”. Pendapatnya menyadarkan kita akan bahwa pintar saja tidak cukup untuk dijadikan tujuan dalam pendidikan.
See Ching Mey dan Lee Siew Siew melalui Pusat Pengajian Ilmu Pendidikan, Universiti Sains Malaysia, menemukan 43.41% daripada sampel pelajar mengalami kemurungan klinikal yang berpotensi melakukan usaha bunuh diri. Data ini menunjukkan bahwa pendidikan cenderung hanya mengejar prestasi demi persiapan masa depan dan melupakan kemanusiaan manusianya sendiri. Sirnanya kemanusiaan ditunjukkan melalui usaha manusia untuk bunuh diri.
Manusia berusaha bunuh diri karena ia tak mampu lagi melihat kesempurnaan di dalam diri kemanusiaannya. Dan yang mengejutkan, data bunuh diri memperlihatkan bahwa pendidikan gagal membuat manusia menemukan kemanusiaannya. Dan negara dengan angka bunuh diri tertinggi justru bukanlah negara yang terbelakang namun dari negara – negara maju termasuk Finlandia, yang termasuk dalam negara dengan sistem pendidikan termaju. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan tidak menjamin mengantarkan manusia pada pengembangan kemanusiaannya.
Disinilah arti penting kemanusiaan dalam tujuan sebuah pendidikan. Agar setiap individu dihargai dan tidak ada yang merasa dirugikan. Dan manusia memiliki kesadaran yang mampu membedakan dirinya dengan segala sesuatu yang ada di luar dirinya. Alasan masyarakat Baduy menjadi masuk akal jika pendidikan hanya diartikan untuk mendidik anak menjadi pintar, banyak pengetahuan, pandai mencari uang alias seorang enterpreneur handal, namun tak mampu mengangkat sisi kemanusiaan dirinya sendiri dan orang lain.
Apa gunanya menjadi orang yang katanya terdidik namun sisi kemanusiaannya merosot?. Dalam hal ini, John Dewey berpendapat bahwa belajar atau pendidikan adalah bagian dari kehidupan itu sendiri dan bukan untuk mempersiapkan masa depan (Education be viewed as process of living and not preparation for future living).
Pendapat Dewey dapat ditafsirkan bahwa pendidikan adalah proses yang membentuk perkembangan manusia atau dengan kata lain memanusiakan manusia. Pendapat Dewey ini ingin mengedepankan yang utama, yaitu pendidikan yang tidak hanya ditujukan demi masa depan tetapi demi kemanusiaan itu sendiri.