Pasca keluarnya Inggris dari Uni Eropa, pemerintah Inggris di bawah pemerintahan Perdana Menteri Theresa May merevisi kebijakan lama dan membuat kebijakan baru, khususnya tentang masalah imigran. May dan beberapa menteri kabinet mengatakan bahwa Inggris akan mengadopsi kebijakan yang mirip dengan kebijakan Australia tentang imigran. Beberapa dampak Brexit terhadap imigran di Inggris yaitu:
1. Akses imigran untuk masuk Inggris menjadi terbatas.
Seleksi terhadap imigran yang akan memasuki kawasan Inggris akan dilakukan dan harus melewati beberapa tahap uji jasmani maupun rohani atau psikis. Seperti di Australia, para imigran yang akan bekerja di Inggris harus memiliki visa kerja dengan berbagai kriteria seperti penilaian pengalaman lama waktu kerja, kualifikasi kapabilitas individu, dan juga seleksi umur. Bagi imigran yang memiliki tujuan untuk menetap secara permanen, wajib memiliki visa tinggal permanen dan harus lulus tahap uji kesehatan serta bebas dari virus seperti HIV dan AIDS. Apabila para imigran melakukan tindakan kriminal yang mengancam keselamatan jiwa warga negara Inggris, maka Inggris berwenang untuk mendeportasi imigran tersebut ke negara asalnya.
Imigran juga harus bisa berbahasa Inggris dengan lancar dengan score IELTS minimal 7.0 untuk semua bidang (speaking, listening, reading, writing). Hal ini dilakukan dengan tujuan agar para imigran yang masuk ke negaranya sesuai dengan kriteria yang dibutuhkan oleh industri pekerjaan yang sedang dibutuhkan oleh Inggris, sehingga tidak menjadi pengangguran yang ditakutkan nantinya akan menjadi awal dari tindak kriminalitas.
2. Skema Visa Berubah
Selama menjadi anggota Uni Eropa, warga negara dari  sesama Uni Eropa dapat masuk ke wilayah kedaulatan Britania Raya, termasuk Inggris, tanpa visa dan begitu juga sebaliknya, karena adanya kebijakan kewarganegaraan bersama. Namun setelah Britania Raya keluar dari keanggotaannya sebagai bagian dari Uni Eropa, sistem pengecekan visa sebagai syarat masuk para imigran bukan bagian dari Uni Eropa, kemungkinan akan diterapkan juga kepada warga negara Uni Eropa yang masuk ke Inggris.Â
3. Imigran mengalami sasaran rasisme
Selain akses imigran yang menjadi terbatas, imigran yang merupakan kelompok minoritas di Inggris juga menjadi target rasisme. Imigran Polandia menjadi salah satu imigran yang mengalami rasisme, mereka di teror dengan lambang dan simbol yang berbau rasisme yang berisi ujaran kebencian. Bahkan Kantor Asosiasi Budaya dan Sosial Polandia dirusak dan ditempeli dengan slogan yang mengarah ke rasisme. Umat muslim yang menjadi imigran di Inggris juga merasakan rasisme, khususnya yang tinggal di kota Southampton ketika mereka akan melakukan Shalat Ied bersama namun harus dibatalkan. Mereka khawatir akan adanya demo dari sekelompok anti-imigran.
Inggris pada dasarnya adalah negara yang menjunjung tinggi nilai demokrasi dan pengakuan atas HAM. Keputusan masyarakat Inggris untuk melakukan referendum dengan tujuan agar negaranya keluar dari keanggotaan Uni Eropa merupakan salah satu perwujudan dari demokrasi, di mana rakyat memberikan hak suaranya untuk menentukan kebijakan yang akan digunakan di negaranya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H