Ditulis oleh: Hana Rosita, S.Pd., Drs. Heru Subrata, M.Si.
Banyak anak beranggapan bahwa matematika merupakan mata pelajaran yang sulit, sehingga mereka enggan belajar matematika. Padahal hakikat dari matematika adalah alat bantu dalam melakukan berbagai kegiatan dalam kehidupan sehari - hari. Renungkan! Mulai dari kita bangun tidur, hingga tidur lagi, bukankan banyak konsep matematika yang kita gunakan? Contohnya, pada saat bangun tidur, kita melihat jam dinding atau jam analog pada gawai. Dalam memahami jam tersebut, kita menggunakan pemahaman konsep bilangan dan pengukuran waktu. Begitupun dalam membuat pilihan membeli jajanan di sekolah, kita membutuhkan kemampuan penyajian dan interpretasi data. Kita perlu mengumpulkan dan membandingkan harga dan nilai gizi makanan dan minuman yang ada di kantin sekolah sebelum memutuskan membeli makanan dan minuman sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan kita. Sedemikian pentingnya peran matematika dalam kehidupan sehari - hari, sehingga Kementerian Pendidikan terus meningkatkan inovasi pembelajaran matematika melalui program peningkatan kompetensi literasi dan numerasi bagi peserta didik mulai jenjang sekolah dasar.Â
Istilah literasi matematika pada dasarnya memiliki makna yang sama dengan numerasi. Literasi matematika menurut OECD (2017) adalah kemampuan seseorang dalam merumuskan, menerapkan, dan menafsirkan matematika dalam berbagai konteks, termasuk kemampuan melakukan penalaran secara matematis dan menggunakan konsep, prosedur, dan fakta untuk menggambarkan, menjelaskan, atau memperkirakan fenomena. Sedangkan numerasi menurut Kemdikbud (2017) adalah merupakan kemampuan berpikir menggunakan konsep, prosedur, fakta, dan alat matematika untuk menyelesaikan masalah sehari - hari pada berbagai jenis konteks yang relevan untuk individu sebagai warga negara Indonesia dan dunia. Jadi kedua istilah tersebut memiliki makna yang sama.Â
Tujuan pembelajaran numerasi atau literasi matematika tidak sekedar agar mendapat nilai yang bagus, tetapi membentuk generasi yang numerat. Generasi numerat memiliki karakteristik yaitu: (1) Nyaman dengan matematika, (2) Percaya diri dalam menggunakan keterampilan matematika untuk menghadapi tuntutan praktis kehidupan sehari-hari, (3) Dapat menggunakan matematika dalam berbagai konteks untuk membuat penilaian dan mengambil keputusan, dan (4) Kritis mempertimbangkan situasi yang membutuhkan matematika (termasuk apa) atau tidak membutuhkan matematika. Dengan membentuk karakter generasi yang numerat, diharapkan dapat membentuk peradaban masyarakat Indonesia yang lebih baik dan lebih maju di masa depan.
Namun, masih banyak miskonsepsi terkait dengan pembelajaran numerasi atau literasi matematika di masyarakat.  Banyak pendidik yang memberikan jam tambahan untuk membelajarkan soal - soal numerasi. Padahal, numerasi bukan merupakan subjek mata pelajaran, sehingga tidak perlu jam tambahan untuk melakukan drilling soal numerasi hanya untuk mendapatkan nilai tinggi dalam AKM (Asesmen Kompetensi Minimum). Numerasi seharusnya diajarkan dengan diintegrasikan dalam mata pelajaran lain atau dikenal dengan numerasi lintas kurikulum. Begitupun dengan tanggung jawab  dalam membelajarkan numerasi, tugas ini merupakan kewajiban seluruh guru, tidak hanya guru matematika saja. Miskonsepsi inilah yang harus diluruskan agar setiap guru menyadari tanggung jawabnya dalam membelajarkan numerasi pada peserta didik di seluruh mata pelajaran.Â
Implementasi pembelajaran numerasi atau literasi matematika di sekolah dasar dijelaskan dalam Peraturan Dirjen GTK 2626/B/HK.04.01/2023 tentang Model Kompetensi Guru dan Peraturan Dirjen GTK nomor 4141/B/HK.06/2023 tentang Pedoman Pengembangan Kompetensi Secara Berkelanjutan Bagi Guru. Sesuai dengan peraturan tersebut, terdapat 3 aspek yang harus diperhatikan dalam pembelajaran numerasi di sekolah dasar. Aspek tersebut meliputi lingkungan belajar numerasi, belajar dan asesmen numerasi, serta budaya numerasi.Â
Salah satu sekolah dasar yang telah menerapkan pembelajaran numerasi atau literasi matematika yaitu Sekolah Dasar Negeri 2 Kepatihan yang terletak di Jalan Panglima Sudirman VII/2, Tulungagung, Jawa Timur. Adalah Pak Oppy, guru kelas 6 di SDN 2 Kepatihan, yang telah membelajarkan numerasi dengan diintegrasikan dalam mata pelajaran PLH (Pendidikan Lingkungan Hidup). Pembelajaran numerasi yang dilaksanakan beliau dapat meningkatkan kompetensi numerasi. Pak Oppy dapat mengenali pengetahuan dan pengalaman numerasi yang dimiliki peserta didik tentang sampah organik dan pengaruhnya terhadap lingkungan. Menurut Pak Oppy terdapat konsep matematika dalam permasalahan sampah. Pertama konsep volume bangun ruang dan kelipatan bilangan dalam produksi sampah sehari - hari, dan kedua pengukuran lama waktu penguraian sampah di lingkungan. Inilah yang mendasari pak Oppy mengintegrasikan numerasi dalam PLH dengan cara menghadirkan lingkungan fisik, sosial, emosional, dan intelektual melalui proyek pembuatan pupuk organik.Â
Dalam merancang pembelajaran PLH, Pak Oppy juga memasukkan domain numerasi yang terdiri dari konten, konteks, dan level kognitif. Konten matematika yang digunakan dalam proyek  pembuatan pupuk organik adalah pengukuran cairan EM4 , rasio jumlah tanah, sampah organik basah, dan sampah organik kering yang dibutuhkan dalam satu wadah pengomposan.Â
Konteks numerasi yang digunakan Pak Oppy dalam pembelajaran adalah konteks saintifik, yaitu proses pengomposan. Alat dan bahan yang digunakan meliputi gelas ukur, bak / wadah pengomposan, sampah dapur, daun-daun kering, tanah, EM4, dan air. Cara pembuatan kompos yang dilakukan Pak Oppy dan anak - anak di SDN 2 Kepatihan adalah: (1) pada lapisan pertama memasukkan tanah, (2) lapisan kedua memasukkan sampah dapur, (3) lapisan ketiga memasukkan daun kering, (4) Lapisan keempat memasukkan tanah lagi, dan (5) terakhir menuangkan EM4 10 ml yang sudah dicampur dengan air hingga menjadi 500 ml di atas lapisan kompos. Perbandingan rasio volume tanah, daun kering, dan sampah dapur adalah 1:1:1. Langkah tersebut dilakukan berulang hingga wadah pengomposan penuh. Untuk level kognitif yang diterapkan dalam proses pembuatan kompos ini adalah level penerapan, yaitu menerapkan pemahaman konsep bilangan, pengukuran, dan rasio dalam proses pembuatan pupuk kompos.Â
Pada proses asesmen, Pak Oppy menggunakan asesmen sumatif dengan menguji kemampuan penyelesaian masalah tentang pembuatan kompos yang melibatkan level kognitif penalaran. Berikut soal penalaran yang berkaitan dengan proses pengomposan yang digunakan Pak Oppy.Â