"Democracies may die at the hands not of generals but of elected leaders, presidents or prime ministers who subvert the very process that brought them to power."Â (Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt dalam How Democracies Die)
SAYA merasa gelisah dengan adanya wacana penundaan pemilihan umum (pemilu). Seharusnya, Pemilu akan digelar di tahun 2024. Namun belakangan ada wacana untuk menunda pemilu sekitar satu atau dua tahun. Penundaan pemilu menurut saya merusakan tatanan demokrasi yang sudah terlembaga dengan baik, dan bila sampai terjadi penundaan pemilu menurut saya adalah langkah mundur.
Negara yang demokratis salah satu cirinya adalah menggelar pemilu secara rutin. Konsitutsi mengamanatkan lima tahun sekali. Belakangan, pihak yang mengusulkan perlunya pemilu ditunda beralasan demi pemulihan ekonomi yang terpuruk imbas pandemi Covid-19. Alasan ini menurut saya terlalu dibuat-buat. Pun bila digelar pemilu, bakal terjadi perputaran uang. Pemilu pun sebetulnya bisa digunakan sebagai pengungkit perekonomian, baik nasional dan daerah.Â
Belakangan, wacana penundaan Pemilu 2024 membuat gaduh. Padahal pemerintah, DPR RI, dan penyelenggara pemilu telah menyepekati hari pelaksanaan Pemilu 2024 di tanggal 14 Februari 2024 mendatang. Alih-alih mulai melakukan pemanasan mesin partai politik, saat ini malah terjadi kegaduhan antara pihak yang menolak dan setuju adanya penundaan. Dalam demokrasi, perbedaan pendapat memang hal lumrah, namun munculnya wacana penundaan Pemilu 2024 merupakan bukan hal yang lumrah. Bagi saya ini semacam ancaman kematian demokrasi itu sendiri. Â
Ancaman Matinya Demokrasi
Saya jadi teringat buku How Democracies Die (2018) karya Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt. Salah satu kutipan yang pas menggambarkan situasi Indonesia saat ini tergambar dari kutipan pembuka artikel. Dari hasil penelitian mereka di Amerika, beberapa negara yang kualitas demokrasinya hancur itu bukan karena kekuatan militer yang merebut kekuasaan dengan senjata, melainkan oleh figur pemimpin nasional--- baik itu presiden maupun perdana menteri---yang merusak proses, standar, dan etika demokrasi semata untuk memenangi pertarungan demi meraih jabatan.
Saya berharap, wacana ini tidak kemudian terwujud dalam gerakan politik untuk menggalang kekuatan parpol agar menyetujui penundaan Pemilu 2024. Memang saat ini, masih ada parpol yang menolak, juga masih ada aktivis demokrasi dan pemilu yang juga gerah terhadap  situasi ini. Bila penundaan pemilu terjadi, ini menjadi alarm bahaya kemunduran proses demokrasi di Indonesia. (*)