Pelaku teror memanfaatkan lingkungan sosial yang permisif dan cuek untuk bersembunyi. Perlu sikap peduli terhadap tetangga baru di lingkungan. Termasuk bila ada aktivitas intoleransi segera lapor ketua RT / RW.
MINGGU pertama April ini bisa disebut minggu teror. Secara berturut terjadi aksi terorisme di Makassar dan penyerangan di Mabes Polri Jakarta. Kemudian dilakukan upaya penyisiran ke daerah Hingga Jumat (2/4/2021) sore kemarin dilakukan penggeledahan oleh Detasemen Khusus (Densus) 88 Anti Teror di sebuah rumah terduga teroris di Purwokerto, Banyumas, Jawa Tengah.
Saya sebagai orang Purwokerto cukup terkejut mengetahui kabar penggeledehan ini. Kabar penggeledahan rumah terduga teroris bisa baca disini. Siapa saja yang terpapar paham radikal bisa berada di tengah-tengah kita, berbaur bersama dan beraktivitas.
Dari berita tersebut diketahui bahwa terduga sudah menempati rumah tersebut sekitar dua tahun. Namun tetangga tidak mengenali si penghuni rumah. Ini cukup memprihatinkan. Dalam rentang waktu yang cukup lama sepertinya si terduga membatasi diri untuk berinteraksi. Begitu juga warga, disayangkan tidak mengenali tetangga tersebut.
Ajakan ini bisa efektif untuk mempersempit ruang sembunyi pelaku-pelaku teror. Termasuk perlunya memantau aktivitas warga di lingkungan tempat tinggal. Misalnya mengingatkan anak dan keluarga untuk menceritakan bila mendapati hal-hal yang tidak biasa atau misalnya ada ajakan intoleransi di lingkungan tempat tinggal. Bila ada hal yang mencurigakan bisa melaporkan kepada ketua RT maupun RW.
Dengan adanya kepedulian sosial di lingkungan terkecil diharapkan mempersempit ruang gerak sembunyi pelaku teror. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H