Mohon tunggu...
Hana Nur Rofiah
Hana Nur Rofiah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Lifelong Learner

Hobi makan tetapi sulit naik berat badan :)

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur

Waralaba dan Konsep Musyarakah dalam Praktik Bisnis Syariah

19 Desember 2024   22:31 Diperbarui: 19 Desember 2024   22:58 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Entrepreneur. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcomp

Seiring perkembangan zaman, praktik bisnis kian marak jenisnya. Tidak hanya berfokus pada kegiatan jual-beli yang bermodalkan mencari supplier kemudian menjualnya kembali, namun makin banyak jenis bisnis lain salah satunya waralaba atau kita sering menyebutnya sebagai franchise. KFC, Indomaret, Alfamart, atau tempat ngopi kekinian seperti Kopi Janji Jiwa itupun termasuk contoh dari waralaba. Dikutip dari laman investor.id., Ketua Umum Perhimpunan Waralaba dan Lisensi Indonesia (WALI), Levita Ginting Supit menyampaikan bahwa sebanyak 60.000 gerai waralaba tersebar di seluruh Indonesia hingga tahun 2023. Hal ini menunjukkan makin diminatinya bisnis waralaba ini dan menjadi peluang yang tinggi di dunia wirausaha. 

Waralaba merupakan salah satu bisnis yang bisa dijadikan langkah pertama bagi pebisnis pemula untuk memulai usaha karena kerjasamanya dalam bentuk bagi hasil. Singkatnya dalam waralaba, terdapat pemberian lisensi atau izin untuk menggunakan merek dagang dari pewaralaba kepada terwaralaba dengan perjanjian atau ketentuan tertentu (Dasanti, 2019). Sebagai bisnis yang menerapkan prinsip kerjasama, dalam praktik bisnis Islam pun, waralaba ini dapat dikatakan sebagai implementasi konsep musyarakah/syirkah. Yaitu kerjasama dua pihak atau lebih di mana pembagian keuntungan ditanggung sesuai proporsi modal.

Setidaknya dalam bisnis waralaba terdapat rukun atau kewajiban yang harus dipenuhi untuk memulai suatu perjanjian yang mirip dengan konsep musyarakah. Pertama, yaitu akad, dalam waralaba tentunya yang paling awal adalah menyatakan perjanjian atau kesepakatan yang jelas berikut porsi pembagian keuntungannya, misalnya kesepakatan pembagian 50:50 atau 60:40. Kedua, pihak-pihak yang berserikat, yaitu pewaralaba dan terwaralaba. Ketiga, objek musyarakah, yaitu lisensi, peralatan/sarana dan modal yang digunakan untuk kegiatan operasional waralaba.

Shalihah (2016) menjelaskan pemilik waralaba memiliki modal berupa hak kekayaan intelektual dan keahlian dalam bisnis, dan penerima waralaba memiliki harta dan tenaga. Masing-masing mitra bisnis tersebut setuju untuk membagi hasil dan resiko dari usaha bisnis yang dilakukan sesuai dengan kuantitas dan kualitas pekerjaan atau kewajiban yang mereka miliki. Jenis perjanjian waralaba ini pun dapat disebut dengan syirkah inan.

Yang harus menjadi perhatian dalam bisnis waralaba adalah kejelasan akad atau perjanjian di awal agar tidak melanggar prinsip syariah. Seperti dalam waralaba, ada yang namanya biaya waralaba (franchise fee) dan biaya royalti (royalti fee). Biaya waralaba merupakan biaya yang hanya dibayarkan satu kali di awal setelah terjadinya kesepakatan yang biasanya digunakan untuk mendukung proses pengoperasian outlet pertama, sedangkan biaya royalti adalah biaya yang dibayar secara berkelanjutan yang dihitung berdasarkan persentase pendapatan. Tentunya perhitungan biaya waralaba dan biaya royalti berbeda-beda tergantung kesepakatan. (Hafsari & Sativa, 2023).

Hafsari & Sativa (2023) juga menjelaskan bahwa prinsip keadilan harus menjadi dasar untuk bisnis waralaba berbasis syariah, termasuk dalam menentukan biaya waralaba dan biaya royalti. Demikian pula, pewaralaba harus adil dalam menentukan biaya yang dibebankan kepada terwaralaba mereka, termasuk biaya rekrutmen dan penentuan biaya royalti juga harus sesuai dengan pendapatan atau keuntungan yang sudah disepakati.

Sama halnya dengan kegiatan transaksi syariah yang lain, seorang muslim yang hendak membuka bisnis waralaba harus menghindari transaksi-transaksi yang dilarang seperti menjual produk yang haram, menipu pihak lain, transaksi taruhan yang merugikan pihak lain, riba, penimbunan, melakukan transaksi yang tidak transparan, dan penyuapan.

Memang kejelasan akad dan rincian setiap transaksi yang transparan menjadi hal pertama yang harus diperhatikan dalam kegiatan kerja sama, karena dengan adanya kejelasan inilah setiap pihak yang bekerjasama merasa diuntungkan dan dapat timbul rasa saling percaya serta berkeadilan. Bisnis waralaba sangat bagus apabila diterapkan dengan prinsip Islam, tidak hanya berfokus pada keuntungan saja tetapi juga memperhatikan aspek lain untuk kebaikan umat manusia yaitu menghindari transaksi yang dilarang yang berpotensi merugikan manusia.

Dengan perkembangan waralaba yang makin pesat di Indonesia, perlu pemahaman pebisnis pemula khususnya pebisnis muslim untuk mengetahui dengan jelas akad dan transaksi yang benar agar menjalani bisnis waralaba ini dengan halal, menumbuhkan keberkahan, serta menjadi penunjang perekonomian yang lebih baik.

Daftar Pustaka

Dasanti, W. (2019). Waralaba. Semarang: Penerbit Mutiara Aksara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun