Sebagai negara bekas jajahan dengan karunia kekayaan alam yang begitu melimpah, Indonesia saat ini masih sulit lepas dari bayang-bayang negara lain. Indonesia kini masih mengalami ketergantungan dan keterbelakangan jika dibanding dengan negara-negara yang dulu juga pernah terjajah namun kini sudah maju, mampu bangkit, dan bahkan bisa bersaing dengan negara yang dulu pernah menjajahnya.
Situasi yang terjadi dengan Indonesia kini sebenarnya pernah terjadi juga pada bangsa Amerika Latin yang dulunya terbelakang dan selalu dikebiri oleh bangsa lain dalam hal pengelolaan sumberdaya alamnya. Tidak mau terus menjadi bangsa ternak yang selalu diperah susunya oleh bangsa lain, bangsa Amerika Latin yang diwakili oleh hampir 100 ekonom Amerika Latin berkumpul bersama pada 1965 di Meksiko.
Mereka melakukan diskusi besar, menganalisis situasi ekonomi bangsa mereka. Para ekonom tersebut berusaha memecahkan persoalan kemiskinan yang melanda negara-negara Amerika Latin dan bangsa-bangsa yang menghuninya. Diskusi besar ini kemudian melahirkan deklarasi yang dikenal dengan “Deklarasi Ekonomi Amerika Latin”. Deklarasi inilah yang kemudian mampu menstimulasi perubahan yang sehat bagi bangsa-bangsa Amerika Latin hingga seperti sekarang ini.
Kini, mereka telah menjadi negara-negara yang gagah berani menentang raksasa-raksasa dunia dengan apa yang mereka miliki. Menolak menjadi bangsa ternak yang selalu bergantung dan dikebiri oleh bangsa lain!
Seandainya Indonesia bisa meniru langkah mereka, seandainya bangsa ini sadar bahwa menjadi bangsa ternak tidaklah enak. Meskipun pakannya sudah disediakan, rumput-rumputan yang diberikan sesuai dengan porsinya. Namun rumput padang sabana hasil memetik sendiri adalah yang terbaik. Sebanyak apa pun dimakan, sebanyak apa pun dipetik, ia akan tumbuh lagi dengan subur.
Lain halnya apabila terus beri pakan dengan rumput hasil sabitan, lama kelamaan ia juga akan habis, tidak sesegar ketika masih dari tangkainya. Selain jatah pakan yang diatur, ternak tersebut juga akan terus di peras susunya hingga peyot. Sampai suatu saat ia pun akan disembelih, dagingnya dijadikan makanan yang lezat oleh pemiliknya.
Apakah bangsa ini akan mau terus diperlakukan seperti itu? Menjadi ternak yang selalu diatur, selalu didikte untuk menuruti kemauan sang pemilik, yang terus dikurung di kandang, tidak pernah melihat atau bahkan merasakan nikmatnya padang sabana yang begitu luas dan kaya akan sumber kehidupan.
Kondisi inilah yang telah dan masih terjadi pada bangsa ini, yang secara politik sudah merasakan kemerdekaan selama 68 tahun. Kekayaan alam kita terus dikuras oleh bangsa asing! Tidak bisa berontak, terlalu ciut nyalinya untuk menghadapi tekanan pihak luar.
Tidak ada yang tersisa kecuali sedikit upah, kerusakan lingkungan, limbah, dan sengketa tiada harapan kemenangan, karena banyak dari para pemimpin yang duduk di singgasananya pun telah melupakan tanggung jawabnya. Lupa akan rakyatnya, lupa akan bangsanya, tidak cukup nyali memihak bangsa yang telah melahirkan dan membesarkan namanya.
Para pemimpin yang khianat itu pulalah yang bersatu, membentuk kekuatan, dan memberikan bantuan kepada asing dalam proses eksploitasi yang dilakukan di negeri sendiri. Membuat bangsa ini layaknya ternak yang selalu digiring oleh asing. Para penguasa yang berperan membantu asing dan melakukan penindasan di dalam negeri inilah yang oleh Richard Fager, IvarOxaal, dan kawan-kawan, disebut sebagai “kelas komprador” (compradore class).
Fungsi dari kelas komprador ini adalah sebagai golongan elite yang berkuasa dan bertanggungjawab melindungi kepentingan asing pada sektor-sektor di mana modal asing banyak bergerak, yang di Indonesia sendiri hampir semua sektor yang dikuasai oleh asing. Mulai dari bidang energi, pertanian, pertambangan, industri, kelautan, pariwisata hingga telekomunikasi.