(Sumber: http://farm8.staticflickr.com/7058/6986072639_6cdb41af0c_h.jpg)
Seorang kenamaan pernah berujar, bahwa sering kali dibutuhkan kondisi kritis, bahkan sangat kritis, agar dapat terjadi sebuah perubahan besar. Memang begitulah salah satu sifat manusia, sering kali kita hanya akan berubah ketika benar-benar sudah dalam kondisi kritis, sudah berada di batas kejayaan atau hampir jatuh ke jurang keterpurukan, bahkan banyak juga yang sudah jatuh hingga harus berjuang mendaki ke puncak kejayaan lagi.
Situasi ini mirip seperti Indonesia. Jika dulu kita dikenal sebagai bangsa yang sangat berani, ksatria di lautan, disegani oleh banyak bangsa-bangsa di seluruh dunia, dan makmur pembangunan dari sumberdaya alamnya. Kini, bangsa ini justru banyak berkutat pada permasalahan usang yang harusnya sudah ditanggalkan, dimusiumkan, dan sudah saatnya membahas persoalan baru lagi.
Kita tentu sama-sama tahu permasalahan apa yang sudah usang itu? Ya, subsidi BBM. Jika Negara-negara lain sibuk mencurahkan perhatiannya untuk membahas opsi-opsi penyediaan energi yang berbagai macam jenisnya. Kita justru masih berdebat mengenai satu jenis saja, BBM.
Akan seberapa besar subsidi BBM tahun depan? Kondisi apa agar BBM dapat dinaikkan? Persoalan-persoalan seperti itulah yang sering dibahas. Lalu sampai kapan persoalan subsidi BBM, yang celakanya menyedot banyak perhatian ini akan terus dibahas. Apakah kondisi yang saat ini kita alami bersama masih belum bisa dikategorikan kritis? hingga kita masih sangat sulit untuk move on dari BBM.
Mungkin kondisi berikut ini dapat menggambarkan bahwa Indonesia masih sangat sehat, belum memasuki kondisi kritis.
Produksi minyak bumi Indonesia pada 2013 sekitar 825 ribu bph (barel per hari), sedangkan kebutuhan BBM dalam negeri mencapai 1.5 juta bph. Jadi, mau tidak mau Indonesia harus mengimpor kebutuhan minyaknya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Dari produksi minyak bumi sebesar 825 ribu bph tersebut, sekitar 15 persennya merupakan jatah kontraktor. Jadi Negara kurang lebih hanya mendapatkan 700 ribu bph. Dari 700 ribu bph itu pun tidak semua dapat diolah menjadi BBM, dikarenakan beberapa kilang yang masih mengadopsi teknologi lama. Hanya sekitar 600 ribu bph yang bisa diolah di dalam negeri, sehingga 100 ribu bph sisanya akan di ekspor ke luar negeri.
Karena masih mengalami defisit, Indonesia mengimpor sekitar 500 ribu bph minyak mentah untuk diolah melalui kilang-kilang dalam negeri yang kapasitasnya mencapai 1.1 juta bph, serta mengimpor BBM sebesar 400 ribu bph, sehingga dapat mencukupi kebutuhan BBM dalam negeri yang mencapai 1.5 juta bph.
Jadi dapat dikatakan bahwa saat ini kondisi Indonesia memang tidak sedang memasuki masa kritis, tidak salah lagi!
Dulu negeri ini memang pengekspor minyak, karena memang produksi minyaknya yang masih tinggi. Kini, negeri yang memulai eksplorasi minyak bumi sejak tahun 1885 ini tidak lebih hanya sebagai pengimpor minyak bumi.
Gambar 1. Produksi minyak Indonesia (Kementerian ESDM, 2012).
Data statistik yang menunjukkan bahwa produksi minyak bumi dalam negeri terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun (Gambar 1). Pada tahun 2004 tercatat produksi minyak nasional sebesar 353.94 juta barel dan terus menunjukkan tren penurunan, hingga pada tahun 2012 tercatat hanya mencapai 279.41 juta barel.
Gambar 2. Konsumsi energi dalam sektor transportasi (Sugiyono, 2012)
Di lain sisi, konsumsi energi dalam negeri, khususnya dalam sektor transportasi terus mengalami kenaikan (gambar 2), yakni rata-rata sebesar 6.2% per tahun, dengan 6.8% untuk bensin dan 5.0% untuk solar (Sugiyono, 2012).
Jika kondisi ini terus dibiarkan, tanpa adanya langkah solutif yang dilakukan, maka kita ibarat sebuah kapal yang sudah semakin jauh dari lautan, tak bisa berlayar mencapai kemajuan dan tinggal menunggu lapuknya, tinggal menunggu busuknya!
Butuh Perjuangan dan Pengorbanan
Permasalahan subsidi BBM memang sangat menguras tenaga, tidak hanya bagi pemerintah namun juga bagi masyarakat. Bagi pemerintah, mereka harus bersiap menerima cacian atas kebijakan yang akan diambil. Bahkan tidak jarang mereka menerima ancaman bagi kedamaian. Karena biasanya, kebijakan yang akan diambil, mau tidak mau, adalah kebijakan yang tidak populis, dengan menaikkan harga BBM misalnya.
Bagi masyarakat, dengan diberlakukannya kebijakan menaikkan harga BBM akan menyengsarakan mereka, baik secara langsung maupun tidak langsung. Harga-harga kebutuhan menjadi naik, tarif kendaraan umum juga ikut naik, semuanya naik. Dan celakanya kalau sudah naik, susah untuk turun lagi.
Di lain sisi, jika pemerintah mengambil kebijakan populis, dengan tidak menaikkan harga BBM, hal ini akan berakibat buruk bagi APBN. Selain itu, perkembangan energi lain pun menjadi semakin tersendat. Karena dana yang ada terkuras untuk subsidi BBM dan semakin minimnya minat masyarakat untuk memakai jenis energi baru, karena mereka masih nyaman menggunakan BBM yang harganya masih tergolong rendah.
Apa yang sebenarnya diharapkan oleh masyarakat tidaklah muluk-muluk, mereka hanya menghendaki jika memang harga BBM harus naik, harga kebutuhan pokok mbok yo tidak ikut naik dan tentunya tersedia alternatif energi lain yang sudah siap pakai, yang lebih murah tentunya. Namun hal inilah yang membutuhkan perjuangan dan pengorbanan yang besar dan waktu yang tidak sebentar.
Jika harga BBM memang harus naik, sebaiknya subsidinya di alihkan untuk sektor lain yang lebih membutuhkan, seperti untuk sektor energi dan pangan. Dalam sektor energi, nantinya subsidi dapat digunakan untuk membangun infrastruktur energi dan untuk mengembangkan jenis energi baru, guna menciptakan diversifikasi energi dalam negeri. Misalnya saja untuk pengembangan BBG yang sejak tahun 1986 hingga hari ini masih belum menunjukkan hasil yang diharapkan.
Sedangkan untuk sektor pangan, pengembangan teknologi guna menciptakan swasembada pangan adalah soal yang harus segera diselesaikan. Sehingga dapat menjamin ketersediaan pangan yang cukup, stabil, dan berkelanjutan.
Pengalihan subsidi ini bukan berarti BBM tidak akan disubsidi sama sekali, kemudian harganya diserahkan kepada mekanisme pasar. Tidak, karena memang hal ini tidak bisa dilakukan dan akan menyalahi konstitusi.
Sesuai amanat konstitusi, penentuan harga BBM tidak boleh diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar. Karena barang yang penting bagi Negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, dalam hal ini minyak bumi, ditentukan oleh pemerintah atas dasar kebijaksanaan sesuai dengan kepatutan dan daya beli rakyatnya.
Memang untuk menangani masalah subsidi BBM butuh pengorbanan besar, butuh keberanian menerima cacian, hinaan, maupun ancaman. Namun tidak ada salahnya untuk berkorban sedikit, karena para pendiri bangsa ini pun telah berkorban banyak untuk mendirikan Negara yang bernama Indonesia.
“Kita semua harus menerima kenyataan, tapi menerima kenyataan saja adalah pekerjaan manusia yang tak mampu lagi berkembang. Karena manusia juga bisa membikin kenyataan-kenyataan baru. Kalau tak ada orang mau membikin kenyataan-kenyataan baru, maka “kemajuan” sebagai kata dan makna sepatutnya dihapuskan dari kamus umat manusia”
Pramoedya Ananta Toer - Rumah Kaca (Hal. 436)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H