Dalam kehidupan dan kegiatan sehari-hari di masayarakat, tentunya terdapat beberapa perbedaan yang terjadi, perbedaan antara seseorang dengan seseorang, seseorang dengan kelompok, atau kelompok dengan kelompok, itu adalah suatu hal yang wajar dijumpai, baik perbedaan pikiran ide, tindakan dan lain sebagainya, karena pada dasarnya manusia itu diciptakan berbeda-beda agar saling mengenal dan mengerti. Demi mencapai suatu pencapaian dan kebersamaan dari suatu hal yang berbeda-beda tadi, cara masyarakat meyatukan ide dan pendapat melalui musyawarah salah satunya, contohnya musyawarah di dalam desa. Dalam musyawarah siapapun berhak untuk berpendapat, menyanggah, setuju, tidak setuju dan lain sebagainya. Namun nyatanya, menurut penulis di dalam musyawarah masih terdapat perbedaan yang sangat jauh antara yang senior atau yang lebih tua dengan junior yang masih pemuda. Pendapat-pendapat junior belum tentu dapat diterima dengan baik atau bahkan seperti dihiraukan, kecenderungan masih mengarah untuk lebih menghargai pendapat, masukan, atau petuah dari yang dituakan, ini seperti masih adanya kekuatan atau otoriter dari yang lebih senior. Sebagai seorang yang lebih muda tentu kita diajarkan untuk menghargai orang yang lebih tua, namun dalam hal ini seakan pendapat yang muda kemungkinan dinomor duakan. Walaupun mayoritas masyarakat setuju terkait suatu hal yang di sepakati dalam musyawarah, belum tentu kenyataannya akan dilaksanakan dalam realitasnya, jika tokoh masyarakat yang dituakan itu tidak setuju, kegiatan bisa saja tidak berjalan walaupun pada awalnya semua masyarakat setuju. Disini penulis melihat adanya kekuasan atau wewenang, yang bisa menyebabkan konflik antara pemegang otoritas dan yang tidak memiliki otoritas. Menurut penulis, kasus tersebut merupakan contoh tentang teori konflik Ralf Dahrendorf.
Teori Konflik Rafl Dahrendorf menjelaskan bahwa konflik adalah salah satu dari realitas sosial, yang dimana konflik ada dari perbedaan kekuasaan dan wewenang, dan kepentingan. Menurut Ralf Dahrendorf, konflik akan muncul melalui relasi sosial dalam sistem. Konflik tidak akan melibatkan individu atau kelompok yang tidak terhubung dalam sistem. Teori Dahrendorf memaparkan jika relasi-relasi di struktur sosial ditentukan oleh kekuasaan. Dalam pandangan Dahrendorf, konflik kepentingan menjadi sesuatu yang tidak dapat terhindarkan dari relasi antara pemilik kekuasaan dan mereka yang tidak berkuasa.
Teori konflik di perkenalkan oleh Ralf Dahrendorf, ia seorang ahli sosiologi yang lahir pada tanggal 01 Mei 1929 di Hamburg, Jerman. Ayahnya bernama Gustav Dahrendorf dan ibunya bernama Lina. Pada Tahun 1947-1952, Ralf Dahrendorf  belajar ilmu filsafat, psikologi dan sosiologi di Universitas Hamburg, dan tahun 1952 meraih gelar doktor Filsafat. Pada tahun 1956, ia memperoleh gelar Phd di Universitas London. Tahun 1957-1960 menjadi seorang Professor ilmu sosiologi di Hamburg, tahun 1960-1964 menjadi Professor ilmu sosiologi di Tubingen, selanjutnya tahun 1966-1969 menjadi Professor ilmu sosiologi di Konstanz.
Referensi :
M. Wahid Nur Tualeka (2017). Teori Konflik Sosiologi Klasik Dan Modern. Jurnal Al-Hikmah
Teori Konflik Ralf Dahrendorf  http://digilib.uinsby.ac.id/5930/5/Bab%202.pdf diakses pada 14 Desember 2022
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI