Mohon tunggu...
Hanan Arasy
Hanan Arasy Mohon Tunggu... Ilmuwan - everlasting student

Menulis adalah bekerja untuk keabadian

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Dawuk diantara Cermin dan Belantara Rambuk Randu

5 Juli 2022   13:55 Diperbarui: 5 Juli 2022   14:03 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto oleh Laura Williams

Sebuah Ressensi Novel berjudul Dawuk menggunakan 

Pendekatan Anthopologi Filosofis Jean Jacques Lacan 

"Anak-anak berhamburan, warga seluruh isi desa terbelalak melihat seorang wanita digotong tergopoh-gopoh oleh seorang bermuka durjana!"

Sekiranya, petikan narasi yang saya cukil dalam sebuah novel karya Makhfud Iwan berjudul Dawuk, merupakan klimaks dari rangkaian cerita yang terapal menyita takjub. Namun, sebelum menghempas jauh, izinkan saya sebagai pembaca dan penulis ressensi novel tersebut mengucapkan apresiasi. Pertama, bagi seorang karib saya yang rela meminjamkan salah satu koleksi bukunya yakni, Tirto Aji Utomo. Kemudian, rasa terimakasih saya juga haturkan bagi penulis novel bernama Makhfud Iwan beserta kolega dari Marjin kiri yang telah menerbitkan karya ciamik tersebut. Tak lupa, juga saya ucapkan banyak terimakasih, khususnya kepada semua pembaca yang telah menyempatkan mampir untuk membaca tulisan ressensi novel saya kali ini.

Berawal dari tokoh utama bernama Muhammad Dawud, Novel berjudul Dawuk merupakan sebuah novel yang mengingatkan kita kepada sastrawan Indonesia lainnya. Nama-nama seperti Eka Kurniawan, Felix Nesi, serta banyak sastrawan Indonesia lainnya. Mengapa? Sebab saat membaca karya mereka kita akan mengunjungi suatu dimensi yang familiar. Alam berfikir pembaca kembali hadir dan bermukim pada sebuah kedalaman pedesaan. Tentunya, latar belakang dinamika desa yang penuh dengan segala aktivitas masyarakat guyub akan menjadi poin krusial disini. Tak kecuali bagi Novel "Dawuk" sebuah nama yang diberikan oleh Makhfud Iwan berdasarkan nama tokoh utama Dawud yang digambarkanya memiliki wajah buruk sehingga orang desa gemar mencacinya dengan nama "Dawuk".

Kisah cerita itulah yang digambarkan Makhfud ikhwan melalui langgam tradisional beserta kisah-kisah menarik para pekerja imigran di Indonesia. Secara detil, Rumbuk randu menjadi setting utama kisah roman Dawuk. Sebuah desa dipilih Makhfud ikhwan untuk menggambarkan sebuah situasi social pekerja desa dalam negeri yang merantau ke negeri jiran. Fenomena sosial ini berhasil dimanfaatkan secara ciamik oleh penulis novel seperti halnya gaya roman Multatuli. Secara partikular, Makhfud Ikhwan berhasil meramu kisah cinta Dawuk dan gadis desa paling cantik dalam novel tersebut dengan begitu tragis.

Artwork oleh Zdislav Beksinski
Artwork oleh Zdislav Beksinski

Seorang gadis desa yang paling cantik di desa Rambuk Randu bernama Inayatun. Pada akhirnya, harus meninggal dengan anak yang sedang dikandung dalam kondisi perut yang robek. Suaminya, yakni pemuda paling buruk rupa bernama Dawuk. Seringkali menjadi bahan pembicaraan warga setempat. Naasnya, kematian Inayatun tentu menjadi bulan-bulanan para warga. Kedua sepasang kekasih yang tentu bertemu melalui kisah panjang.

Secara ringkas, Dawuk yang memiliki penampilan buruk ternyata mampu menjaga Inayatun dari kejaran pembunuh. Namun Kisah cinta yang begitu kompleks ini, berujung pada kelalaian Dawuk menjaga istrinya yang sedang hamil. Sehingga pada ujung cerita "Dawuk" digariskan oleh sang penulis penuh dengan derita. Beberapa narasi dalam novel ini dibumbui dengan sentuhan magis. Khususnya, bagi Dawuk yang merupakan cucu seorang gerilya Partai Masyumi Indonesia bernama Mbah Dulawi.

Pada dasarnya novel ini merupakan sebuah besutan karya yang sangat menarik. Pertama, kemampuan sang penulis dalam menangkap pelbagai fenomena sosial. Kedua, gaya roman yang sangat pas bagi para pembaca karya sastra Indonesia. Ketiga, kekuatan naratif yang semakin unik untuk dibedah. Ketiga poin yang saya amati tersebut, sekiranya berlabuh pada sebuah pertanyaan mendasar. Pada novel Dawuk, sejauh mana subjektivitas Makhfud Iwan mengambil peran yang krusial? Nampaknya, wacana dan unsur pedagogis penulis menyiratkan jawaban tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun