Sebuah Ressensi Novel Berjudul Bukan Pasar Malam Karya Pramooedya Ananta Toer
Apa yang pertama kali terbesit dalam pikiran kita mendengar kata pasar malam? Tempat Keramaian? Wahana bermain yang asyik? Anak-anak yang berlarian membeli permen kapas? Atau mungkin, penjual pakaian yang berjejer dan bersorak menjajakan barangnya?
Bagi sebagian orang tentu menjadi hal yang menarik berkunjung ke pasar malam untuk menghabiskan waktu. Bahkan tak sedikit pula yang sekedar memamerkan baju baru. Namun, bagi seorang sastrawan hal itu berbeda. Kata pasar malam tentu bisa ia sulap menjadi sebuah metafora yang ciamik!
Pramoedya Ananta Toer yang akrab disapa dengan panggilan pram, merupakan seorang sastrawan Indonesia yang cukup populer.Â
Namanya kini banyak dikenal oleh kaum muda-mudi bahkan dari kalangan aktivis maupun seorang pembaca atau pecinta karya sastra Indonesia.Â
Pria yang seringkali dilekatkan sebagai pionir perkembangan kesusastraan Indonesia modern ini cukup produktif dalam menulis. Tak cukup berhenti disitu, karya dan kerja-kerjanya pun memiliki karakteristik yang kuat serta keberpihakan yang jelas.
Sebagai seseorang eksponen Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dan eks tahanan politik Rezim Harto, Pram tentu bukanlah seorang penulis sastra yang naif. Pandangan hidup dan ideologi yang terarah serta lugas ia goreskan melalui mesin tik jadul dalam mengerjakan setiap karyanya.
Pada judul novel Bukan Pasar Malam misalnya, Keyakinan pram yang kokoh ia refleksikan pada karya sastra monumentalis.Â
Sebuah novel yang resmi rilis pada pertengahan 1950an mengingatkan sebagian pembaca pada gaya realisme sosialis serta novel-novel lainnya. Seperti halnya, penulis Albert Camus yang menelurkan novel L'etranger di Perancis kala itu.Â