Beranda dan linimasa sosial media saya beberapa hari terakhir menunjukan suatu trend menarik. Sempalan, video atau foto yang diikuti iringan narasi tentang soal rasisme sekali lagi untuk kesekian ribu kalinya mencuat ke permukaan perbincangan. Respon, warga net bak gayung bersambut muncul di beberapa sudut.Â
Mulai, dari yang mengirimkan bentuk dukungan solidaritas sebagai sikap penolakan anti-rasisme, hingga yang bersikap antipati serta mungkin bagi yang tak mendapatkan beritanya tetap tak mengerti apapun sampai tulisan ini ditulis. Respon itu terus mendapatkan stimulan dari ragam informasi yang menyebar sangat deras di berbagai arah penjuru.Â
Mulai dari kabar terkini di lapangan, pembatasan akses informasi hingga klaim hoax dsb. Tulisan ini hanya akan mengajukan beberapa pertanyaan dari hasil perbincangan sebelumnya tentang Papua. Ketika kemanusiaan terusik, lantas apa? Namun, sebelum masuk kepada pertanyaan tersebut izinkalah saya melakukan langkah memutar dengan pertanyaan yang lebih relevan untuk diajukan terlebih dahulu.Papua Merdeka atau Setara?
Bagi saya, penting untuk mempertimbangkan ulang arah perbincangan publik yang kini sedang begitu tersiram banyak minyak bahan bakar sehingga apinya kian menyulut. Pertimbangan, itu tentunya bukan suatu soal tentang langkah mundur dari keberpihakan kepada praktik. Tapi, pertimbangan dari sebuah ide dan fikiran yang terumuskan ulang sebagai bahan pedoman praktik sosial yang lebih mutakhir. Pertanyaan selanjutnya, lantas Papua merdeka atau setara?Â
Beberapa penalaran historis secara singkat menyebutkan bahwa Papua merupakan hasil aneksasi sebuah rezim negara untuk menjadi bagian integral dari Negara Kesatuan Republik Indonesia . Disisi, lain paradox kemerdekaan dan kesetaraan begitu terusik apabila kita perbincangkan  bagi saudara-saudara kita nun jauh disana. Yang, hari-harinya terancam oleh moncong-moncong senapan dan perutnya terpaksa dikosongkan oleh kepentingan manufaktur dan perbudakan modern dengan alih-alih pembangunan atau pertambangan.Â
Saya, pikir beberapa problem tersebut seharusnya sudah menjadi tolak ukur untuk memantik suatu sikap yang lebih relevan mengenai pembacaan situasi sosial terkini. Ketimbang menyoal urusan remeh temeh yang mencuat sebagai gelembung berita pinggiran. Bahwa, kondisi rasialisme yang dibumbui dengan pendekatan militerisme hanya akan menyesakan kemanusiaan dimana nilai-nilainya hanya dapat menjauhkan kita pada realitas kehidupan sehari-hari pada suatu kondisi yang berbalik menuju ke arah titik nol.Â
Artinya, terdapat suatu celah kemungkinan upaya berlebihan dari kelompok quasi yang turut terlibat dalam membakar sulut bara masyarakat. Dari, mulai sikap Jokowi yang lebih tepat jika dijadikan bahan guyonan anak tongkrongan ketimbang posisinya sebagai seorang presiden sebuah negara yang berdiri secara heterogenitas kebudayaan. Sikap yang sekedar meminta maaf lebih tepat bagi anak tongkrongan yg tak sengaja mengambil rokok milik temanya ketimbang penghisapan negara terhadap hak rakyatnya yang menderita selama beberapa puluhan tahun. Kondisi ini, tentu memiliki konsekuensi dari sekedar meniduri kembali kesadaran sosial masyarakat ketimbang memantik ulang perbincangan mengenai kemerdekaan serta kesetaraan bagi rakyat papua. Lantas, bagaimana rakyat papua dimungkinkan oleh suatu kondisi untuk bergerak menuju ke arah kemerdekaan dan kesetaraan?
Politik disenssus sebagai Jawaban bagi Papua
Apa yang memungkinkan bagi pemecahan problem tentang papua? Mengapa dengan upaya rekonsiliasi Jokowi dengan sikapnya yang hanya meminta maaf tak berbuah apa-apa? Inilah, saatnya Papua melakukan dan merumuskan tujuan dan masa depanya. Tentang prakondisi yang tidak setara menjadi suatu titik tolak kesetaraan hingga mewujudkan suatu rumusan yang tepat bagi tatanan baru mereka. Tentang, masa lalu? Bagi mereka, kejengahan secara psikologis serta kelaparan dan defisit pendapatan adalah hal yang lebih pokok untuk menjawab kesulitan mereka. Dititik, inilah masyarakat papua telah melakukan Politik Disenssus. Artinya, ketaksepahaman terhadap distribusi pengetahuan yang dilakukan negara dengan gaya militeristik serta rasis sangatlah tidak relevan bagi mereka. Rakyat papua, yang berbondong-bondong melakukan boykot terhadap kantor DPRD serta aksi jalanan adalah tak lain Sebagai wujud Politik-Dissensus yang memungkinkan embrio kesetaraan sosial serta kemerdekaan dapat ditata ulang diatas tanah nenek moyang pace serta mace. Soal, inilah yang harusnya dipertimbangkan oleh negara mengingat intervensi yang menggebu-gebu terus menggempur kondisi kemanusian yang semakin darurat. Atau, dalam kondisi yang tak kita ketahui kedepan politik dengan (p kecil) akan menjadi (politik dengan P besar) yang mengorbankan lebih banyak darah untuk mewujudkan tuntutan de facto sejarah bahwa kelas yang tertindas pada akhirnya yang akan merubah zaman. Atas, dasar itulah penting untuk diketahui bahwa ketika kemanusiaan terusik lalu mereka melakukan perlawanan merupakan hal yang sangat krusial serta memiliki presisi terhadap kemajuan suatu kondisi sosial ketimbang terus-terus melakukan langkah mundur yang memiskinkan nilai kemanusiaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H