Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menyatakan bahwa Indonesia merupakan negara penyumbang sampah plastik terbesar kedua di dunia yang dibuang ke laut. Berdasarkan data yang diperoleh dari Asosiasi Industri Plastik Indonesia (INAPLAS) dan Badan Pusat Statistik (BPS), sampah plastik Indonesia yang dibuang ke lautan mencapai 64 juta ton per tahun, dan sebanyak 3,2 juta ton merupakan sampah plastik yang dibuang ke laut.
Pengurangan sampah plastik memang menjadi PR yang besar bagi negara ini. Setiap individu mempunyai tanggung jawab untuk dapat mengurangi sampah plastik yang diproduksi setiap harinya. Tapi tentu saja hal itu tidak semudah mengisap jempol.
Seorang penggiat zero-waste lifestyle, Lauren Singer mengatakan bahwa untuk mengurangi sampah plastik, perlu dukungan penuh dari para pengampu kebijakan dan juga manufaktur sendiri. Hal ini dikarenakan hampir semua produk yang beredar di pasaran menggunakan kemasan plastik. Mengurangi penggunaan plastik untuk produk makanan mungkin masih bisa diakali, tapi bagaimana dengan kosmetik? Atau bahkan hal-hal kecil semacam label yang menggantung di pakaian atau stiker yang menempel di apel?
Lauren Singer yang selama 4 tahun terakhir hanya memproduksi sampah sangat sedikit hingga bisa dimuat dalam botol selai ini mengatakan bahwa ada ketidakadilan yang diberikan oleh para manufaktur. Mereka bisa dengan mudah 'mengalihkan' tanggung jawab pengurangan plastik pada konsumennya, padahal sebenarnya merekalah yang membuat sampah plastik itu sendiri. Mereka seolah-olah angkat tangan dengan masalah ini, padahal mereka bisa mengganti kemasan mereka menjadi sesuatu yang recyclable dan reusable. Bahkan perusahaan juga tidak menyumbangkan tenaga mereka untuk ikut memunguti sampah yang mereka produksi tiap harinya.
Bahkan di Amerika terdapat sebuah iklan yang terkenal dengan slogan "Keep America Beautiful", yang mengkampanyekan mengenai sampah plastik yang berceceran di pantai. Ironisnya, iklan tersebut dibuat oleh produsen sampah itu sendiri: para manufaktur yang mengemas produknya dengan kaleng dan plastik. Iklan itu seolah-olah memindahkan tanggung jawab sampah plastik dari penjual ke pembeli.
Memang, usaha individu untuk mengurangi produk-produk yang menggunakan kemasan plastik memang bisa mendatangkan perubahan, setidaknya secara kultural. Namun masyarakat tidak akan bisa berbuat banyak selagi semua pabrik menggunakan kemasan plastik untuk produk mereka.
Peran pemerintah juga sangat penting dalam mengurangi sampah. Selama ini sejauh pengamatan saya, tindakan-tindakan pemerintah untuk mengurangi sampah plastik memang patut dihargai, namun tidak menimbulkan dampak yang signifikan. Pengelolaan sampah yang jelek membuat masyarakat tidak menyadari dampak dari sampah yang diproduksi. Indonesia perlu melihat bagaimana cara negara-negara dengan pengelolaan sampah terbaik di dunia bisa mendaur ulang sampah mereka.
Kita ambil contoh Korea Selatan. Di Korea Selatan, apabila ingin membuang sampah, penduduknya harus memisahkan dulu antara sampah plastik, sampah makanan, sampah kaleng, sampah kertas, dan lain sebagainya. Pemilahan ini bertujuan untuk mempermudah proses daur ulang sampah, sehingga akan mengurangi volume sampah yang dibuang di landfill. Penduduk Korea Selatan juga tidak bisa seenaknya memproduksi sampah sebanyak yang mereka mau. Semakin banyak sampah yang diproduksi, semakin mahal biaya pengelolaan sampah yang harus mereka keluarkan. Hal ini mendorong penduduknya untuk mengurangi sampah dalam keseharian mereka.
Indonesia perlu kebijakan dari pemerintah untuk dapat meningkatkan kesejateraan lingkungan. Di era pemilu yang akan datang, kita perlu mencermati apakah calon-calon wakil rakyat yang didukung merupakan orang yang peduli terhadap lingkungan. Salah satu calon DPD RI dapil Jogjakarta, Bambang Soepijanto yang juga merupakan mantan Dirjen Planologi Kehutanan di Kementerian Lingkungan Hidup adalah salah satunya.