Du du du du du du du du du~ Blackpink!
Saya yakin kalian pasti sudah familiar dengan lagu itu. Lagu yang judulnya merupakan onomatopea yang tidak jelas apa maknanya itu dibawakan oleh sebuah girlband asal Korea yang bernama Blackpink. Blackpink merupakan salah satu girlband paling tersohor di Korea saat ini, dan mereka dikontrak oleh salah satu e-commerce besar di Indonesia untuk iklan. Jadi paling tidak kalian paling tidak pernah mendengar lagu itu entah di mana.
Kita tahu bahwa demam K-Pop memang sedang merajalela. Kalau dulu kita pikir K-Pop sudah sangat populer, well, itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan sekarang. Sebagai perbandingan, video musik boyband paling terkenal Super Junior membutuhkan waktu 9 tahun untuk mencapai 99 juta views di Youtube untuk single mereka yang berjudul "Sorry Sorry". Sedangkan BTS mencapai angka 295 juta views untuk single mereka "IDOL" hanya dalam kurun waktu 3 bulan.
Namun di sisi lain banyak pro-kontra mengenai Hallyu di tanah air, yang notabene merupakan negara konservatif. Bahkan semakin hari, gelombang pasang di Indonesia juga konservatif. Petisi yang menggugat iklan Blackpink di televisi hanya merupakan contoh kecil dari seberapa konservatifnya masyarakat Indonesia sekarang.
Terlepas dari itu, mungkin sebaiknya kita perlu mempelajari negara seperti apa Korea ini, yang menjadi negara satu-satunya di dunia yang berubah status dari ODA (Official Development Assistance) Recipient menjadi Donor. Asal kalian tahu, Indonesia masih berada dalam status Recipient alias penerima bantuan.
Selepas Perang Korea , Korea Selatan menjadi salah satu negara termiskin di dunia yang bahkan bisa dibilang setara dengan negara-negara Sub-Sahara. Pada tahun 1960, Korea Selatan saat itu lebih miskin daripada Korea Utara, dengan nominal GDP per kapita hanya $76 menurut data World Bank. GDP per kapita Korea Selatan bahkan lebih rendah dari Sudan ($124,5) dan Bangladesh ($88). Pada tahun 2017, GDP per kapita Korea Selatan mencapai 35.938 dolar Amerika, hampir 10 kali lipat GDP per kapita Indonesia yang berada di nominal 3.846 dolar. Sedangkan Korea Utara hanya mencapai angka 1.800 dolar Amerika.
Padahal, Korea Selatan bisa dibilang miskin sumber daya alam. Sekitar 60% tanah di Korea Selatan merupakan tanah kapur yang tidak subur untuk ditanami. Hal ini berbanding terbalik dengan Indonesia yang tanahnya amat subur dan nyaris apapun tersedia, sampai-sampai ada ungkapan apabila kita membuang biji di halaman belakang, maka biji tersebut akan tumbuh dengan sendirinya.
Indonesia juga merupakan salah satu negara dengan luas hutan terbesar di dunia. Dari hutan tersebut, Indonesia memiliki sumber daya kehutanan yang melimpah dan menjadikannya sebagai salah satu produsen kayu dengan kuantitas besar di dunia. Salah satu komoditas andalan adalah kayu lapis.
Akhir November lalu, Asosiasi Panel Kayu Indonesia (APKINDO) baru saja melantik ketua umum baru. Beliau adalah mantan Dirjen Planologi Kehutanan Bambang Soepijanto.
Pengalaman Bambang Soepijanto yang sudah malang-melintang di dunia kehutanan Indonesia dirasa cukup mumpuni untuk mengampu amanah sebagai Ketua Umum APKINDO.
Pada saat pelantikan, beliau mengatakan akan kebutuhan dunia akan kayu lapis tidak akan pernah berubah, namun justru akan semakin meningkat.