Mohon tunggu...
Sera Wibisono
Sera Wibisono Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Gerakan #HearMeToo Tidak Seharusnya Ada

5 Desember 2018   21:25 Diperbarui: 5 Desember 2018   21:41 506
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Baru-baru ini perhatian seluruh Indonesia terpusat pada dua kasus pelecehan seksual. Kasus pertama menyangkut mahasiswi Universitas Gadjah Mada dengan nama samaran Agni yang menjadi korban pemerkosaan oleh rekan Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang juga sesama mahasiswa. Kasus ini mencuat setelah Badan Pers Mahasiswa Balairung UGM menerbitkan laporan mengenai kasus tersebut.

Tindak lanjut dari pihak UGM sendiri masih sangat mengecewakan. Dikutip dari Tirto.id, mekanisme penyelesaian internal yang dilakukan UGM belum tuntas dalam memenuhi rasa keadilan bagi korban menurut Rifka Annisa, sebuah organisasi nirlaba yang konsen pada hak-hak dan penghapusan kekerasan terhadap perempuan di Yogyakarta.

Penyelesaian persoalan kekerasan seksual kampus seringnya menjadi konflik kepentingan bagi kampus sendiri. Kampus lebih mengutamakan nama baik dan cenderung mendesak korban untuk menyelesaikan dengan jalur damai, yang menyebabkan pelaku bisa lepas tanpa sanksi yang layak.

Tidak lama setelah itu, mencuat berita mengenai Baiq Nuril yang dijerat dengan UU ITE karena merekam suara kepala sekolah yang melakukan pelecehan seksual terhadapnya. Kejanggalan kasus ini sungguh amat terasa karena pengadilan justru malah memberi sanksi kepada Baiq Nuril yang merupakan korban. Perbuatan merekam suara tersebut tidak dilihat sebagai bentuk pembelaan korban terhadap pelaku, lagi-lagi ketimpangan relasi kuasa antara pelaku dan korban menjadi penyebabnya.

Kedua kasus tersebut apabila tidak diusut sampai tuntas, maka dikhawatirkan akan banyak perempuan korban kekerasan yang tidak mau berbicara dikarenakan takut hukum akan berbalik menyerang mereka. Mungkin ini juga salah yang mendasari UN Women membuat Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, dimulai sejak 25 November hingga 10 Desember mendatang.

dfordelhi.in
dfordelhi.in
Programme Management Specialist UN Women, Lily Puspitasari, mengatakan 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan tahun ini menggaungkan tagar #HearMeToo karena melihat fenomena korban yang bukannya ditangani malah disuruh diam.

Namun seharusnya tagar #HearMeToo tidak perlu ada apabila penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia dilakukan dengan seharusnya.

Gerakan seperti ini tidak perlu ada apabila hukum dan norma di Indonesia tidak berpihak kepada yang punya kuasa, dan tidak perlu ada apabila pelaku kekerasan terhadap perempuan mendapat ganjaran yang sesuai.

Pada kenyataannya, penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan yang seringkali tidak ditangani dengan tegas bisa jadi merupakan faktor yang membuat angka kekerasan terhadap perempuan meningkat setiap tahun.

Pada tahun 2017, terdapat 348.446 jumlah pelapor yang tercatat dalam data Komnas Perempuan, melonjak tajam dari tahun sebelumnya yang hanya 259.150 kasus.

Permasalahan ini merupakan PR besar yang harus digarisbawahi oleh setiap pengampu kebijakan. Apalagi, tahun depan merupakan tahun politik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun