Peran internet mengakibatkan banyak masyarakat mulai teredukasi akan pentingnya kesehatan mental. Namun mirisnya, masih muncul stigma negatif berkaitan dengan penyakit mental di tengah masyarakat. Ada pandangan yang menyatakan bahwa penyakit mental disebabkan oleh kurang keimanan atau ibadah. Ada pula yang memandang penyakit mental sebagai aib dan hal memalukan yang harus disembunyikan. Pandangan-pandangan tersebut merupakan pandangan yang salah. Nyatanya, penyakit mental tidak disebabkan oleh kurangnya ibadah atau rasa keimanan kepada Tuhan. Gangguan mental disebabkan oleh ketidakseimbangan unsur kimia dalam otak, sehingga memerlukan perencanaan dalam perawatan yang komprehensif (Anggono dkk., 2023). Beberapa penyakit mental seperti skizofrenia, depresi, dan gangguan bipolar memerlukan penanganan psikologis lebih lanjut dan tidak cukup jika hanya diobati dengan ibadah. Pandangan yang salah berkaitan dengan penyakit mental mengakibatkan penanganan yang salah terhadap penyandang penyakit mental. Penanganan yang seharusnya diarahkan ke psikolog atau psikiater, malah dialihkan ke dukun karena kesalahan kognitif tentang sakit mental yang dianggap sebagai "kerasukan", sehingga pengidap malah terbiar dan tidak mendapatkan penanganan yang tepat.
Individu yang mengidap gangguan mental dihadapkan dengan dua permasalahan. Pertama, gejala-gejala dari gangguan yang diderita, misalnya halusinasi, delusi, kecemasan, atau mood swings yang menghambat mereka dalam bekerja, hidup mandiri, atau mencapai kualitas hidup yang baik. Kedua, kesalahpahaman masyarakat terhadap gangguan mental yang menimbulkan stigma publik. Stigma negatif terhadap para penyandang penyakit mental mengakibatkan munculnya diskrimasi atau pengucilan. Hal ini mengakibatkan rendahnya harga diri dan membatasi mereka dalam bersosialisasi dan mendapatkan tempat tinggal atau pekerjaan yang layak (Anggono dkk., 2023).
Salah satu fenomena yang terjadi berkaitan dengan diskiriminasi adalah praktik pasung pada penyandang gangguan mental (Hartini dkk., 2018). Fenomena pasung bagi orang-orang “gila” dianggap sebagai fenomena yang miris karena kurangnya kesadaran masyarakat akan penanganan yang tepat untuk para pengidap gangguan mental. Melalui pemasungan, membatasi hak asasi manusia para penyandang penyakit mental. Kaki mereka harus dirantai dan tidak dapat bergerak bebas. Pada kasus lainnya, pengidap gangguan mental dikurung di kamar, dijepit dengan balok kayu, atau ditempatkan pada gubuk berpagar yang sangat sempit dan sesak. Hal ini mengharuskan mereka untuk makan, minum, tidur, dan buang air di tempat yang sama. Berdasarkan laporan Human Civil Rights (2018), terdapat 12.800 penyandang gangguan mental yang dipasung di Indonesia. Pemasungan umumnya dilakukan di wilayah pedesaan dan oleh keluarga sendiri yang berasal dari latar belakang sosial ekonomi rendah (Hartini dkk., 2018).
Stigma negatif terkait penyakit mental ini juga mengakibatkan hanya sedikit orang dengan gangguan mental yang mencari pertolongan dari tenaga kesehatan mental. Umumnya, orang dengan gejala awal gangguan mental enggan mencari bantuan karena tidak mengerti arti dari gejala tersebut atau terlanjur menghubungkan gangguan mental dengan stereotipe negatif yang tidak akurat (Anggono dkk., 2023). Stigma dan diskriminasi terkait penyakit mental mendorong remaja dan anak muda untuk menyembunyikan permasalahan mereka yang berdampak pada pengobatan yang tidak tepat. Anak muda Indonesia dengan gangguan kesehatan mental sering menghadapi stigma dan diskriminasi, yang dapat menyebabkan isolasi sosial dan keengganan untuk mendiskusikan kesehatan mental mereka (Being, 2024). Berdasarkan laporan Indonesia - National Adolescent Mental Health Survey (2022), melaporkan bahwa hanya 2,6% dari remaja dengan masalah kesehatan mental yang pernah mengakses layanan yang menyediakan dukungan atau konseling untuk masalah emosi dan perilaku dalam 12 bulan terakhir. Secara keseluruhan, hanya satu dari lima puluh remaja (2,0 %) yang pernah menggunakan layanan dalam 12 bulan terakhir, dan dua pertiga dari remaja tersebut (66,5%) hanya pernah menggunakan layanan sebanyak satu kali.
Stigma dan akses layanan kesehatan jiwa yang memadai masih menjadi hambatan yang signifikan di Indonesia. Diperlukan peningkatan literasi kesehatan mental untuk membantu masyarakat mengidentifikasi gejala gangguan mental dan mempelajari strategi pencegahan. Selain itu, peran psikoedukasi juga perlu ditingkatkan untuk meminimalisir stigma negatif terkait penyakit mental agar para penyandang dapat mencari bantuan lebih awal pada tenaga profesional dan mengakses penanganan dan layanan yang tepat.
Referensi:
Anggono, C.O., Ramli, A.H. & Yusainy, C. (2023). Stigma gangguan mental: mitos vs. fakta. In E.B. Zahro (Eds.), Kesehatan Mental pada Masyarakat Kontemporer (pp. 1-11). Dandra Kreatif.
Being (2024, April 17). Mapping Youth Mental Landscapes: Local Insights from 13 Countries. https://being-initiative.org/wp-content/uploads/2024/04/Mapping-Youth-Mental-Health-Landscapes_April-18-2024.pdf
Center for Reproductive Health, University of Queensland, & Johns Bloomberg Hopkins School of Public Health. (2022). Indonesia – National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS): Laporan Penelitian. Pusat Kesehatan Reproduksi. https://qcmhr.org/outputs/reports/12-i-namhs-report-bahasa-indonesia/file
Hartini, N., Fardana, N. A., Ariana, A. D., & Wardana, N. D. (2018). Stigma toward people with mental health problems in Indonesia. Psychology research and behavior management, 535-541. https://doi.org/10.2147/PRBM.S175251
Human Rights Watch. (2018, October 2) Indonesia: Break the chains on mental health [Video]. Youtube. https://www.youtube.com/watch?v=JXUnzV7f40s