Di era globalisasi sekarang ini, perkembangan zaman semakin pesat. Salah satunya ditandai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Tak pelak, hal ini membuat kehidupan manusia lebih mudah.
Adanya arus globalisasi, tidak saja membawa dampak positif tetapi juga negatif. Dampak positifnya masyarakat lebih mudah dalam beraktivitas dan mendorong orang untuk berpikir lebih maju. Sedangkan dampak negatifnya mengakibatkan pengikisan pada budaya nasional.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995:149), kebudayaan nasional adalah kebudayaan yang dianut oleh semua warga dalam suatu Negara. Bisa dikatakan, kebudayaan nasional merupakan identitas bangsa Indonesia. Kebudayaan ini merupakan gabungan dari kebudayaan-kebudayaan lokal.
J.J. Hoeningman (2008:25) membagi kebudayaan menjadi tiga. Pertama, gagasan (wujud ideal) merupakan kebudayaan yang berbentuk kumpulan ide, gagasan, nilai, norma, peraturan, dan sebagainya yang sifatnya abstrak; tidak dapat diraba atau disentuh. Kedua, aktivitas (tindakan) adalah wujud kebudayaan sebagai suatu tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat itu atau sering disebut sistem sosial. Ketiga, artefak (karya) adalah wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan didokumentasikan.
Kesenian budaya lokal yang didalamnya terdapat gagasan yang mengandung nilai-nilai sosial masyarakat, sekarang ini mulai memudar. Begitu pula dengan aktivitasnya seperti berinteraksi dan bergaul dengan manusia lainnya. Penyebabnya adalah masuknya budaya asing ke dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat. Generasi muda sangat mudah menerima budaya tersebut. Apapun budaya yang datang mereka adopsi begitu saja tanpa disikapi secara kritis.
Apalagi dengan kemajuan teknologi sekarang, mereka bisa mencari apapun yang mereka inginkan di internet. Menurut Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo), pengguna internet di Indonesia hingga saat ini telah mencapai 82 juta orang. Dari jumlah tersebut 80 persen diantaranya adalah remaja berusia 15-19 tahun. Indonesia juga berada pada peringkat ke-8 di dunia.
Bukan hanya internet saja, handphone pun menjadi bagian dari diri generasi muda. Dari pagi sampai menjelang tidur mereka selalu memegang handphone. Kebanyakan mereka menggunakannya untuk mengakses media sosial. Seperti yang dilansir www.wearesocial.com jumlah pengguna yang mengakses media sosial melalui handphone ada sekitar 66 juta orang. Dan facebook menjadi layanan nomor satu yang memiliki pengguna paling aktif di Indonesia.
Hal ini membuat generasi muda berikap individualistik, mereka merasa tidak lagi membutuhkan orang lain dalam beraktivtas, mereka selalu menghabiskan waktunya dengan handphone. Pola hidup mereka juga konsumtif, mereka selalu menghabiskan uang untuk berinternet dan membeli barang melalui internet.
Arus globalisasi juga membuat generasi muda menerapkan budaya asing. Misalnya cara berpakaian generasi muda yang menggunakan pakaian minim dan memperlihatkan bagian tubuh yang seharusnya ditutupi, rambut yang dicat beraneka warna seperi selebriti korea, generasi muda yang pulang larut malam melewati batas malam mereka, ciuman ataupun pelukan bukan dengan mahramnya, anak muda yang tidak sopan lagi kepada orang tua, dsb.
Budaya asing yang masuk membuat nilai-nilai budaya lokal semakin terkikis. Era globalisasi membuat generasi muda seperti melupakan budayanya sendiri. Indonesia seakan kehilangan identitasnya Padahal sebagai penerus bangsa Indonesia, generasi muda memiliki peran yang sangat penting dalam memajukan budaya lokalnya. Jika generasi muda tidak mau peduli lagi melestarikan kebudayaan Indonesia maka siapa yang akan melestarikannya ? apakah kita akan membiarkan kebudayaan Indonesia menghilang ? jika menghilang maka apa identitas banga kita ?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H