"If it bleeds, it leads."
Asal ada banyak darah, penonton pasti membludak.
Ungkapan tersebut merupakan inside-joke kalangan pembuat film, konten, dan tayangan televisi.
Dari sumber lebih ilmiah, ada kata-kata Tudor (1997), "A taste of horror is a taste for something seemingly abnormal and is therefore deemed to require special attention."
Secara kasar dapat kita terjemahkan sebagai: Tayangan berisi teror menarik karena memperlihatkan sesuatu yang tidak wajar.
Meski setiap film pasti dibuat dengan membawa muatan pesan tertentu, faktanya, banyak penelitian psikologi memperlihatkan hubungan antara kecenderungan memilih tontonan berkandungan kekerasan dengan perilaku attention-seeking (alias suka cari perhatian), agresif, dan argumentatif. Sejalan dengan itu, penelitian lain menunjukkan penurunan minat menonton film horror, gore, dan sejenisnya, pada penonton berusia dewasa.
Bagi anak-anak, tayangan-tayangan bergenre ini tidak disarankan sama sekali. Larangan tersebut bukan tanpa alasan. Sejak 1982, National Institute of Mental Health telah melaporkan bahwa pada anak-anak dan remaja yang sering menonton tayangan berisi kekerasan, tren berikut ini menanjak pesat:
- Anak menjadi kurang memiliki empati atas kesusahan orang lain
- Anak menjadi lebih agresif
- Anak menjadi kurang peka terhadap bahaya di sekitarnya
- Anak-anak tersebut, di kemudian hari, sebagian menjadi pelaku kriminal atau minimal pernah tercatat melanggar hukum
Tidak berarti tak ada efek serupa terjadi pada orang dewasa. Penelitian psikolog Craig A. Anderson menunjukkan perubahan cara berpikir, merasa, dan bertindak, pada objek pengamatan berusia matang. Pada penonton lain, terjadi peningkatan rasa cemas, depresi, dorongan bunuh diri, dan insomnia.
Itu karena ketika menonton film thriller, slasher, suspense, horror, atau gore, beberapa reaksi terjadi pada tubuh kita. Jantung berpacu lebih cepat, rasa dingin pada kaki dan tangan karena konstriksi pembuluh darah, dan mata terhipnotis terpaku menatap layar, mengikuti setiap pergantian adegan, meski otak mengenali gambar yang kita tatap sebagai sesuatu yang tidak wajar. Sensasi tersebut memuncak, lalu meledak menjadi rasa lega ketika kengerian berakhir.
Bagi penggemar film semacam itu, inilah yang membuat mereka ketagihan. Sementara bagi sebagian lain, efeknya tinggal lebih lama dan menjadi faktor yang mendorong mereka menghindari menonton tayangan berisi kekerasan sama sekali.