Aroma kopi yang tersapu embun pagi, harum parfummu yang terkadang muncul di balik telingaku;
Masih kudengar dan kucecap segala sisa eksistensimu dalam ujung-ujung memoriku.
Angin, seperti namamu, masih membisikkan obrolan lama yang tergantung di ujung malam.
Janji-janji untuk tinggal, ciuman-ciuman penuh mimpi, euforia masa depan, tertinggal dalam kenangku yang merindu.
Kau belum kembali atau tak pernah kembali?
Lelah sendiri hatiku yang meragu di antara kutub positif-negatif akanmu.
Menunggumu itu membunuhku, namun meninggalkanmu adalah keabnormalan.
Setiap sesap kopiku menuntut keputusan;
Menyambut jalan baru yang gelap, atau tinggal di rumah lama yang juga gelap?
Setiap langkahku untuk mencoba rasa kopi baru, atau parfum baru, atau jalan baru, pupus karena diriku tanpa sisa-sisa dirimu terasa ganjil.
Aku mencoba kasur baru namun aku terbangun di kasur usang dimana dirimu pernah berbaring begitu lama.
Aku ingat ucapanku di sela ciuman beraroma kopi kita suatu pagi,
"Kau duniaku," tanpa ragu aku berucap.
Tak kusangka kalimat itu menghantamku tanpa ampun, karena sampai sekarang pun kamu masih duniaku.
Duniaku, serpih mimpiku, pun segalaku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H