Tak ada yang tak kenal dengan upacara adat di Indonesia. Beragam upacara adat dari berbagai daerah di Indonesia menjadikan keharmonisan budaya dan nilai esensi budaya tersebut ada. Dari beragam ras, suku, bahasa, dan agama menjadikan Negara ini memiliki keharmonisan dalam pelaksanaan upacara adat itu sendiri. Tapi itu semua tak ada artinya jika hanya dinikmati saja tanpa dijaga dan dirawat. Apalagi seiring dengan perkembangan teknologi dan modernisasi di abad ke 21 ini banyak sekali remaja yang enggan melestarikan upacara adat ini. Semua aspek perlu melestarikan upacara adat yang diwarisi nenek moyang kita.
Keberagaman Upacara Adat di Indonesia
Upacara adat di Indonesia sangatlah beragam. Pertama, Kenduren (biasanya dilakukan oleh masyarakat Jawa). Tradisi ini sudah turun temurun dari zaman dahulu. Pemanjatan doa bersama yang di hadiri para tetangga dan di pimpin oleh pemuka adat atau yang dituakan di setiap lingkungan, dan yang disajikan berupa tumpeng, lengkap dengan lauk pauknya. Tumpeng dan lauknya nantinya di bagi-bagikan kepada yang hadir yang disebut Carikan dan ada juga yang menyebut dengan Berkat. Kedua, Lompat batu Nias (suku Nias). Lompat batu (hombo batu) merupakan tradisi yang sangat populer pada masyarakat Nias dan lebih tepatnya di Kabupaten Nias Selatan. Tradisi ini telah dilakukan sejak lama dan diwariskan turun temurun oleh masyarakat di Desa Bawo Mataluo (Bukit Matahari).
Tradisi lompat batu sudah dilakukan sejak zaman para leluhur, di mana pada zaman dahulu mereka sering berperang antar suku sehingga mereka melatih diri mereka agar kuat dan mampu menembus benteng lawan yang konon cukup tinggi untuk dilompati. Seiring berkembangnya zaman, tradisi ini turut berubah fungsinya. Karena zaman sekarang mereka sudah tidak berperang lagi maka tradisi lompat batu digunakan bukan untuk perang lagi melainkan untuk ritual dan juga sebagai simbol budaya orang Nias. Tradisi lompat batu adalah situs budaya untuk menentukan apakah seorang pemuda di Desa Bawo Mataluo dapat diakui sebagai pemuda yang telah dewasa atau belum. Para pemuda itu akan diakui sebagai lelaki pemberani apabila dapat melompati sebuah tumpukan batu yang dibuat sedemikian rupa yang tingginya lebih dari dua meter.
Ketiga, Grebeg Suro (Surakarta) Grebeg Suro disebut juga dengan kirab pusaka. Kirab pusaka adalah upacara adat yang dilaksanakan oleh keraton Kasunanan Surakarta, yang merupakan cabang budaya berupa taat acara keraton. Upacara Grebeg Suro tidak hanya sebagai sarana memanjatkan doa dan mencari berkah saja tetapi juga sebagai bentuk penyampaian nilai moral kepada masyarakat di sekitarnya. Keempat, Tingkeban (Jawa) Upacara Tingkeban adalah salah satu tradisi masyarakat suku Jawa, upacara ini disebut juga mitoni berasal dari kata pitu yang artinya tujuh, upacara ini dilaksanakan pada usia kehamilan tujuh bulan dan pada kehamilan pertama kali. Upacara ini bermakna bahwa pendidikan bukan saja setelah dewasa akan tetapi semenjak benih tertanam di dalam rahim ibu. Dalam upacara ini sang ibu yang sedang hamil di mandikan dengan air kembang setaman dan disertai doa yang bertujuan untuk memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa agar selalu diberikan rahmat dan berkah sehingga bayi yang akan dilahirkan selamat dan sehat. Hal itu berjalan harmonis di tengah keberagaman budaya di Indonesia.
Pola Pikir Remaja di Abad ke-21
“Remaja adalah tulang pungung bangsa di massa yang akandatang”. Sebuah slogan yang membuat para pemuda menjadi lebih berusaha lagi agar menjadi pemuda yang ungul dalam bidangnya masing-masing.
Perkembangan modernisasi di Indonesia telah ada sejak abad ke-21. Pola pikir remaja pada zaman dahulu berbeda denganp ola pikir remaja pada abad ke-21 ini. Ketik akita melihat sikap dan perilaku para pemuda di abad ke-21 ini, abad yang sangat mengherankan dimana kemajuan teknologi yang semakin cangih tidak diikuti dengan kemajuan pola pikir para pemuda. Hal itu menjadikan remaja semakin gengsi untuk melestarikan warisan nenek moyang khususnya upacara adat itu sendiri. Tak heran ketika di zaman ini hanya orang-orang dewasa yang melestarikan upacara adat daerah setempat tanpa adanya keikutsertaan remaja yang aktif dalam menjaga kelestarian upacara adat tersebut.
Dengan melihat semua penjelasan di atas, mulai dari beragamnya upacara adat dan pola piker remaja zaman sekarang, kita dapat menyimpulkan bahwa minat remaja zaman sekarang terhadap budaya, terlebih lagi dengan upacara adat yang telah dilaksanakan beberapa tahun lalu menjadi berkurang. Kita tahu bahwa fenomena ini tidak bisa dibiarkan, karena jika dibiarkan terus menerus akan mengakibatkan penerus bangsa selanjutnya tidak akan pernah tahu tentang budaya dan upacara adat di Indonesia karena sudah tidak ada lagi.
Oleh karena itu, kita sebagai remaja haruslah peduli dengan hal sepele seperti itu, karena jika kita tidak peduli dengan budaya sendiri negara kita juga akan jatuh di mata Internasional sebagai negara yang memiliki banyak budaya. Maka dari itu kita harus mulai mengembangkannya dari sekarang. Mulailah dari mengajari kepada orang yang lebih muda dari kita. Dengan begitu, budaya Indonesia tidak akan hilang dan punah serta masih bisa dinikmati dan ditunjukkan kepada generasi mendatang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H