Mohon tunggu...
Hanafi Hamran
Hanafi Hamran Mohon Tunggu... -

Suka membaca dan menulis...Tinggal di pedalaman kalimantan Timur, mengabdi sebagai pengajar. Pembina Study Club Menulis (SCM) yang diperuntukkan bagi anak dan remaja pedalaman. Telah melahirkan buku kumpulan essay remaja pedalaman 'Mengukir Jejak'. Karyanya pernah dimuat di majalah Annida, Tribun Kaltim, buku Antologi Tarian Sang Hudoq, Surat untuk Abang, Melukis Pelangi, Mutiara Cinta untuk Bunda, dll. Sekarang bergiat dalam organisasi kepenulisan yang digawangi oleh Izzatul Jannah.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Sumur Tua, Pohon Kandis dan Malam Ganjil

27 Agustus 2011   01:07 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:26 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Sejak kemarau, tak ada lagi yang melangkah ke sana. Sumur di pinggir kampung yang kini kering. Sejak panas memanggang, debu mengabut, hinggap di daunan dan ranting pohon di sisi sumur tua. Sejak itu pula, tak ada pagi berembun yang dipenuhi celotehan bocah. Atau suara-suara hingar ibu-ibu yang membanting kain kasar di bebatuannya yang kokoh. Pohon kandis sebesar pelukanorang dewasa itu juga hanya menyisakan sedikit daun di atasnya. Tak ada buah yang biasanya tampak ranum sebagai pelengkap sayur asam, oleh-oleh istimewa dari sumur tua.

Kini, altar alam itu sunyi. Jejak bocah memenuhi tubir sungai. Orang-orang bermigrasi keramaian ke sungai yang juga telah mendangkalkan harapannya. Siapapun sepakat, kemarau kali ini begitu garang.



Setelah ia mendapat telpon dari anaknya yang mengabarkan akan mudik gratis bersama TELKOMSEL, Haji Razak melangkah ke sumur tua. Entah rindu apa yang hinggap sepagi itu. Bulan-bulan lalu, ia juga wajib melangkahkan kaki tuanya ke sana. Mengisi kenditua untuk menjerang beras, hingga tanaknya mengepulkan aroma nasi hangat. Atau air jernihnya untuk menyambung wudhunya yang terputus, membaca mushaf di surau tak jauh dari rumahnya.

Kini, ia merasakan kesunyian yang sempurna. Dinding sumur yang ditinggikan hingga dada bocah sepuluh tahunan itu dipenuhi debu. Batang kandis mengelupas, ranting meranggas, dengan dedaunan yang luruh mencium bumi.

Haji Razak mengayunkan sapu lidinya. Bahkan meski sepagi ini debu itu dengan gesit menari di udara dan hinggap lagi tak jauh dari tepi sumur. Kemudian, lelaki itu menyapu dedaunan, menumpuknya dan membakarnya. Hingga tampak wajahnya berpeluh. Ia tersenyum beberapa saat setelahnya sambil menyandarkan bahunya di pohon kandis. Entah karena lelah atau karena merasa senang, matanya terpejam. Entah berapa lama ia tertidur. Ia hanya baru sadar saat di sekitarnya sudah gelap. Haji Razak beristigfar karena kekhilafannya. Namun, sesaat suasana di sekelilingnya kembali terang. Entah apa yang terjadi. Ia hanya melihat beberapa buah kandis terjatuh. Ia memandang ke atas. Ia melihat pohon kandis yang rimbun dan berbuah lebat. Saat ia melihat ke dalam sumur, ia kembali takjub. Sumur itu penuh air. Haji Razak luruh, bersujud. Ia berdoa dan meminta pengampunan Ilahi. Bertahun ia meminta, bertobat atas dosa-dosanya. Inikah jawaban dari pertobatannya selama ini? Ia dianugerahi malam ganjil itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun