Sejak kemarau, tak ada lagi yang melangkah ke sana. Sumur di pinggir kampung yang kini kering. Sejak panas memanggang, debu mengabut, hinggap di daunan dan ranting pohon di sisi sumur tua. Sejak itu pula, tak ada pagi berembun yang dipenuhi celotehan bocah. Atau suara-suara hingar ibu-ibu yang membanting kain kasar di bebatuannya yang kokoh. Pohon kandis sebesar pelukanorang dewasa itu juga hanya menyisakan sedikit daun di atasnya. Tak ada buah yang biasanya tampak ranum sebagai pelengkap sayur asam, oleh-oleh istimewa dari sumur tua.
Kini, altar alam itu sunyi. Jejak bocah memenuhi tubir sungai. Orang-orang bermigrasi keramaian ke sungai yang juga telah mendangkalkan harapannya. Siapapun sepakat, kemarau kali ini begitu garang.
Setelah ia mendapat telpon dari anaknya yang mengabarkan akan mudik gratis bersama TELKOMSEL, Haji Razak melangkah ke sumur tua. Entah rindu apa yang hinggap sepagi itu. Bulan-bulan lalu, ia juga wajib melangkahkan kaki tuanya ke sana. Mengisi kenditua untuk menjerang beras, hingga tanaknya mengepulkan aroma nasi hangat. Atau air jernihnya untuk menyambung wudhunya yang terputus, membaca mushaf di surau tak jauh dari rumahnya.
Kini, ia merasakan kesunyian yang sempurna. Dinding sumur yang ditinggikan hingga dada bocah sepuluh tahunan itu dipenuhi debu. Batang kandis mengelupas, ranting meranggas, dengan dedaunan yang luruh mencium bumi.
Haji Razak mengayunkan sapu lidinya. Bahkan meski sepagi ini debu itu dengan gesit menari di udara dan hinggap lagi tak jauh dari tepi sumur. Kemudian, lelaki itu menyapu dedaunan, menumpuknya dan membakarnya. Hingga tampak wajahnya berpeluh. Ia tersenyum beberapa saat setelahnya sambil menyandarkan bahunya di pohon kandis. Entah karena lelah atau karena merasa senang, matanya terpejam. Entah berapa lama ia tertidur. Ia hanya baru sadar saat di sekitarnya sudah gelap. Haji Razak beristigfar karena kekhilafannya. Namun, sesaat suasana di sekelilingnya kembali terang. Entah apa yang terjadi. Ia hanya melihat beberapa buah kandis terjatuh. Ia memandang ke atas. Ia melihat pohon kandis yang rimbun dan berbuah lebat. Saat ia melihat ke dalam sumur, ia kembali takjub. Sumur itu penuh air. Haji Razak luruh, bersujud. Ia berdoa dan meminta pengampunan Ilahi. Bertahun ia meminta, bertobat atas dosa-dosanya. Inikah jawaban dari pertobatannya selama ini? Ia dianugerahi malam ganjil itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H