Mohon tunggu...
Hanafi Hamran
Hanafi Hamran Mohon Tunggu... -

Suka membaca dan menulis...Tinggal di pedalaman kalimantan Timur, mengabdi sebagai pengajar. Pembina Study Club Menulis (SCM) yang diperuntukkan bagi anak dan remaja pedalaman. Telah melahirkan buku kumpulan essay remaja pedalaman 'Mengukir Jejak'. Karyanya pernah dimuat di majalah Annida, Tribun Kaltim, buku Antologi Tarian Sang Hudoq, Surat untuk Abang, Melukis Pelangi, Mutiara Cinta untuk Bunda, dll. Sekarang bergiat dalam organisasi kepenulisan yang digawangi oleh Izzatul Jannah.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Permintaan Terakhir*

27 Oktober 2011   22:24 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:25 367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dua orang algojo bertampang sangar, perawakan hampir sama tinggi, dengan kepala yang tak memiliki selembar rambutpun, menatap mataku dengan tatapan menusuk. Eksekusi ? Benarkah pagi ini adalah akhir dari kehidupanku? Kedua tanganku terasa kesemutan, akibat dari tali yang mengikatnya terlalu kencang. Sudah hilangkah rasa kemanusiaan ? Dan, atas kesalahan apa, aku berada di depan tali gantungan ini ? Matahari tampak angkuh dengan teriknya yang mulai terasa membakar kulitku.

“Tunggu..!!” Pintaku, saat kepalaku mau ditutup sebuah kain hitam. “Apakah tidak kalian tanyakan, apa permintaan terakhir dari saya.” Kalimat tersebut seakan menggantung, seiring dengan keraguan yang menyentak, saat wajah-wajah sangar itu saling memandang. Aku berhak mendapat peradilan, menyewa pengacara terkenal, mengikuti sidang, dan ikut melakukan pembelaan. Apa yang terjadi sekarang adalah tidak adil. Aku belum melewati proses apa-apa. Dan, langsung di hadapkan pada tiang gantungan. Di mana keadilan? Apa kesalahanku? Dan, bukti apa yang membuat aku harus berdiri disini? Pertanyaan yang makin menciptakan pemberontakan-pemberontakan besar dalam diriku.

Aku sendiri tidak tahu, dimana aku berada sekarang. Hanya hamparan luas yang membentang, sedangkan manusia-manusia yang ada, sibuk berlari kesana kemari. Wajah-wajah yang tidak asing bagiku. Tapi, mengapa tak satupun dari mereka yang berpaling, dan menatap wajahku.

“Katakan, apa permintaan terakhir anda !!”. Aku tersentak. Wajah-wajah dingin itu, seolah-olah tanpa ekspresi memberikan tawaran. Tapi, apa masih ada permintaan yang bisa mengubah eksekusi ini. Tidak !! Tidak akan pernah ada permintaan yang bisa membebaskan leherku dari tali sebesar ibu jari kakiku itu.

“Cepat !! Masih banyak manusia yang harus dieksekusi.” Apa yang sebenarnya terjadi? “Tuan, apa ada permintaan yang bisa membebaskan saya dari eksekusi ini.”

“Konyol !!” Kedua algojo itu mendorong tubuhku kedepan. Semakin mendekati tali gantungan.

“Tuan, tunggu..tunggu. Ya, saya…saya ada permintaan terakhir.” Kataku semakin gemetar. Apa yang harus kuminta ?

“Saya minta lemon juice.” Kataku singkat. Semua yang ada diruangan itu mentertawakan aku. Apa yang aneh, itu minuman kesukaanku.

“Gaul dikit, dong. Masak dari dulu, minumanmu tidak pernah berubah.” Erwin meninju lenganku. “Kita rayakan kesuksesan ini dengan sampanye, vodka, bir, kau tinggal pilih. Dan, disini tidak menyediakan lemon juice, orange juice, atau juice-juice…kalau Joice ada. Ha..ha..ha” Spontan teman-teman kerjaku itu berkoor tertawa mengolok aku.

Malam itu, aku tak kuasa lagi menolak. Pulang ke rumah, perutku terasa mual. Apa yang mengisi perutku keluar akibat muntah yang tidak tertahan lagi. Kepalaku terasa pusing, bahkan saat sebuah bayangan seksi masuk kekamar, dan berbaring diatas ranjang, aku tak begitu jelas memandang. “Erwin menyuruhku datang kesini. Katanya kau kesepian.” Tubuhku ambruk, tepat di sisi wanita itu.

“Tidak !! Apa yang telah kulakukan.” Aku tergugu. Erwin? Kurang ajar !! Aku sudah dikerjai mereka habis-habisan malam itu.

“Apa yang anda inginkan?” Suara bariton mengagetkan aku. “Tadi anda minta lemon juice, lalu, anda berteriak tidak. Jangan permainkan kami !!”

Aku menarik nafas dalam-dalam. Habis sudah. “Tapi, setidaknya ijinkan saya bertanya. Apa yang telah saya lakukan, sampai gantungan ini layak mengakhiri hidup saya.”

Kedua algojo itu terkekeh. Sesaat kemudian, salah satunya mendekat. Ditangannya menenteng sebuah koper. Entah apa yang ada di dalamnya. Perlahan ia membuka, terlebih dulu dengan cekatan jarinya menekan tombol-tombol koper. Wow…uang? Uang memenuhi seisi koper tersebut.

“Ini cukup untuk sekedar hadiah pada hakim itu.” Pak Agus meletakkan koper itu dihadapanku. “Hadiah ? “ Tanyaku lugu. “Sebanyak ini?”

“Jangan bingung. Uang itu harus sampai hari ini. Besok hakimnya akan memberikan keputusan. Jangan sampai perusahaan kita kalah. Kau tidak muak dengan pengacara-pengacara dari LBH itu, apalagi para petani itu sudah mulai berulah.” Bos-ku itu melangkah, seakan tak peduli akan kebingunganku saat ini. Dengan uang sebanyak ini, perusahaan akan membeli hakim-hakim yang menangani kasus tanah yang melibatkan petani-petani kecil itu.

“Ini tidak ada hubungannya dengan saya, tuan.” Aku meronta. Namun, kedua algojo itu tetap dingin.

“Bukankah anda yang melakukan melakukan manipulasi harga tanah. Anda sudah lupa ? Bos anda tahu harga dari data yang anda buat. Data harga tanah yang cukup menguntungkan bagi para petani yang dibuat bos anda, dimanipulasi kelapangan, dengan membeli harga yang sangat murah. Hingga para petani itu berontak.”

Darimana para algojo ini tahu. Pak Agus saja tidak mau tahu. Itulah kehebatanku. Dengan ilmu akuntansi yang kumiliki, semua mudah kusulap. Tapi, siapa yang berkhianat. Erwin, Adi, Joko, atau jangan-jangan….

“Masih mau membantah ?” “Apa arti semua ini? Bukankah saya masih berhak untuk mendapatkan pengacara?” Ucapku membela diri. Masih perlukah.

“Tidak ada yang bisa kami perbuat, Tuan. Kami hanya pengemban amanah. Tugas kami hanya melakukan eksekusi ini.”

“Dimana keadilan?” Aku meronta, membuat orang yang berlalu lalang berkerumun dibawah. “Katakan, apa ini adil? Orang-orang ini telah melakukan pelanggaran terhadap HAM. Menghukum tanpa asas praduga tak bersalah. Adilkah ini ?”

“Apa ? Jangan bergurau, anak muda. Ini adalah pengadilan tertinggi. Bukti-bukti anda telah menyuap, korupsi, berzina, dan setumpuk dosa lainnya telah terbukti. Apa anda masih memerlukan sebuah pengadilan. Ingatkah anda, saat melakukan penyuapan terhadap hakim yang jujur? Dengan kedok hadiah.” Seorang kakek-kakek menatap kearahku dengan sayu. Mata itu…Bukankah.ia…..

“Saya percaya padamu, nak. Kamu lihat sendiri, keadaan penduduk disini, kami serba kekurangan. Tanah ini adalah satu-satunya harta yang kami miliki. Kalau dibeli juga dengan harga yang murah, jangankan membeli sebidang tanah lagi, untuk makan saja kami akan susah.” Pak tua itu terlihat sedih. Matanya mengingatkanku pada sosok ayah di kampung. Sudah lama aku tidak pulang ke kampung halaman.

“Saya akan mengusahakannya, pak.” Ucapku singkat. Tapi, semuanya berjalan lain. Erwin, Adi, dan Joko berpikiran lain. File itu diubah sedemikian rupa. Dan, sebagai ucap terima kasih mereka, Pajero mewah mengisi garasi rumahku. Aku menikmatinya, bayangan pak tua telah enyah dari dari ingatanku.

“Mana janji yang kamu ucapkan dulu, anak muda.” Kakek itu menatap mengiba. “Dan, kau pun masih berharap keadilan. Kau sudah tidak adil terhadap saya.”

“Terhadap saya..” Satu persatu manusia yang berkerumun unjuk jari, dengan yel-yel. “ Terhadap saya..” “Terhadap Saya.” “Terhadap Saya” Aku tidak kuasa mendengar gemuruh suara-suara manusia itu. Ingin rasanya kututup kedua telingaku dengan kedua tangan, namun aku tak kuasa. Tanganku terikat dengan erat dibelakang tubuhku. Teriakan-teriakan itu seakan ingin memecahkan gendang telingaku, tanpa peduli.

“Apa yang terjadi, Man. Kok, sampai bisa ada demo seperti ini.” Pak Agus meminta penjelasanku. “Bukankah ganti rugi tempo hari, sangat menguntungkan para petani? Dengan harga yang kita berikan, setidaknya mereka masih bisa membeli lahan baru.”

“Mereka masih merasa rugi, pak.” Jelasku, walaupun rasa takut mulai menjalari ke adrenalinku. Sementara ketiga rekanku itu mulai terlihat pucat. “Namanya juga manusia, pak. Tidak pernah akan puas.” Ampuh, tak lama pak Agus menandatangani beberapa dokumennya, tanpa banyak bertanya lagi. Ketiganya bernafas lega.

“Tolong, jangan gantung saya.” Sebuah teriakan yang sangat kukenal tiba-tiba memecah suara gemuruh manusia. Erwin ? Adi ? Joko? Ketiga-tiganya meronta-ronta. Namun, algojo-algojo tersebut tak peduli. Sedetik kemudian tubuh mereka secara bersamaan telah terjuntai. Erangan dan rontaan mereka malah menciptakan tepuk tangan manusia yang hadir. Dunia apa ini ?

“Jangan bertanya ini dunia apa? “ Siapa lagi itu. Seorang wanita tengah mengendong bocah kecil. Siapa dia ? Aku tidak mengenalnya.

“Kau memang tak mengenal aku. Dan memang tidak mau tahu tentang aku. Kalian hanya tahu, bagaimana caranya supaya kalian senang, tanpa peduli akan nasib kami.” Jawabnya, seakan-akan menambah daftar vonisku hari ini. “Saat itu kau mabuk.” Ucapnya ketus, seperti membayangkan sebuah kejadian. “Kamu dan teman-temanmu…………….”Tiba-tiba aku teringat. Ya..malam itu. Saat aku mabuk, pulang dari bar dan………

“Kau ingat ?” Ucapannya seakan mempertajam kembali ingatanku. Benar. Wanita itu yang menemaniku malam itu. Tapi, dimana wajah cantiknya? Yang kulihat sekarang adalah wajah kusam, dengan pakaian compang-camping.

“Kalianlah yang menciptakan aku seperti ini. Andai kalian mau memperisteri aku, dan bukan untuk permainan belaka, mungkin sekarang aku tidak seperti sekarang. Mungkin aku akan menjadi lebih terhormat, walau harus menjadi isteri kedua atau ketiga dari kalian.” Ia menunjukkan jemari telunjuknya kearahku. Sejenak aku tertunduk.

“Dan, anak ini masih belum tahu siapa ayahnya. Tidak akan ada yang mau menjadi ayah bagi bocah malang ini.” Ia mengangkat wajah bocah itu. Oh, setengah wajahnya nyaris tak berbentuk, ada ulat-ulat kecil yang berkeliaran disana.

“Tidak ada pengampunan buat manusia seperti kamu, man.” Ucapnya seolah-olah menpertegas vonis yang segera kuterima. “Bahkan, kau tidak punya kesempatan lagi untuk bertobat.”

Bertobat ? Bukankah Tuhan Maha Pengampun ?

“Ya. Tuhan memang Maha Pengampun. Tapi, kau sudah terlambat. Saat nyawamu sudah lepas dari ragamu, tak ada lagi pengampunan. Kamu hanya berhak menikmati semua balasan yang telah kau perbuat sebelumnya. Saat matahari terbit di sebelah barat, dan terbenam ke sebelah timur, semua yang kamu cintai akan meninggalkanmu. Seluruh anggota jasmanimu, akan menjadi persaksian atas setiap pekerjaanmu. Dan, kamu tahu, man? Disini tidak ada lagi rekayasa, kebohongan, atau sebuah kolusi. Mizan itu akan objektif menimbang kebaikan dan keburukan, walau hanya segelintir debu.”

Kedua algojo itu menggiringku kedepan. Nafasku terasa sesak saat kain hitam dikenakan menutup wajahku. Gelab. Aku kemudian dinaikkan ke sebuah meja kecil. Dan, sedetik kemudian………………

“Man, bangun. Kita pulang, ini hampir subuh. Kita lanjutkan pekerjaan ini, besok.” “Man ?” “ Man ?” “Man !!”“Tolong, !!! Satpam, cepat kemari !!…Maman tidak bernafas lagi !!! Tolong…”

*Pernah dimuat di majalah Annida

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun