Mohon tunggu...
Hanafi Hanafi
Hanafi Hanafi Mohon Tunggu... -

A lifelong learner...

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Problematika Beasiswa DIKTI

15 September 2014   14:08 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:40 561
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Kurang dari sepekan semenjak Dirjen Dikti, Prof. Dr. Djoko Santoso, membantah adanya penerima Beasiswa Program Pascasarjana Luar Negeri (BPPLN) Dikti yang terlantar gara-gara transfer beasiswa yang telat, respon dari penerima karyasiswa (disebut ‘karyasiswa’) Dikti yang sedang berdiaspora seantero dunia langsung bergulir deras bak bola salju. Tidak mengherankan sebenarnya mengingat para karyasiswa yang merupakan para pendidik / pengajar dari berbagai PTN dan PTS di Indonesia ini tentu tahu bagaimana melakukan protes secara terorganisir. Lantas kenapa mereka protes? Tulisan ini mencoba memberikan sedikit penjelasan serta solusi atas persoalan Beasiswa LN Dikti dari kacamata seorang karyasiswa.

Birokrasi rumit

Sejak digulirkan pada tahun 2008, persoalan beasiswa Dikti selalu berkutat pada kerumitan administrasinya. Penyebabnya adalah pengelolaan beasiswa diserahkan kepada satuan kerja (satker) organik Dikti. Akibatnya tata kelola mengikuti aturan dan alur birokrasi konvensional yangterkenal berbelit dan tumpang tindih. Kesulitan ini diakui sendiri oleh Direktur Diktendik, Prof. Dr. Supriadi Rustad, dalam rilis tanggapannya tertanggal 9 September 2014. Beliau pun akhirnya mengusulkan agar pengelolaan beasiswa sebaiknya diserahkan kepada BLU seperti LPDP yang bernaung di bawah Kementrian Keuangan. Pengakuan ini menjadi bukti bahwa kerumitan birokrasi menjadi faktor utama persoalan beasiswa ini.

Manajemen perencanaan tidak matang

Faktor kedua adalah tidak terencananya dengan baik prosedur administrasi yang mesti diikuti oleh karyasiswa. Contoh nyata adalah tiadanya mekanisme pengusulan perpanjangan beasiswa yang jelas bagi karyasiswa yang masa studinya lebih dari tiga tahun. Karena rata-rata durasi studi S3 diluar negeri adalah empat tahun, sebuah perencanaan panduan teknis yang rinci dari Dikti sangat diperlukan. Panduan itu bisa memuat jadwal perpanjangan setiap tahun berisikan ketentuan waktu pengumuman pengumpulan bahan, pengumuman daftar berkas yang sudah diterima Dikti sebelum dievaluasi, mekanisme penilaian, dan tambahan waktu untuk melengkapi bahan atau melakukan klarifikasi bagi yang usulannya ditolak. Buku pedoman BPPLN Dikti memang menyinggung soal perpanjangan ini namun tidak rinci dan pelaksanaannya tidak diumumkan sehingga menyulitkan karyasiswa dalam mengurus berkas usulannya.

Perubahan peraturan / kebijakan tanpa masa ujicoba

Faktor permasalahan ketiga adalah terjadinya perubahan peraturan tanpa dibarengi antisipasi kegagalan melalui penerapan masa ujicoba. Contohnya adalah penundaan transfer beasiswa sebanyak lebih dari 50% karyasiswa semester pertama yang menurut Dikti disebabkan karena pembimbing karyasiswa tidak mengisi format laporan yang tautannya dikirimkan oleh Dikti. Menurut Direktur Diktendik, sistem pembuatan progress report yang baru ini dibuat atas dasar adanya temuan mahasiswa yang memalsukan progress report pembimbingnya padahal tidak lagi kuliah. Alasan perubahan aturan ini terasa begitu tendensius, didasarkan atas kecurigaan berlebihan, dan menggeneralisir sikap karyasiswa Dikti. Tidak pernah ada penjelasan resmi dari Dikti mengenai prosentase kejadian seperti itu kepada karyasiswa atau pun publik. Tidak juga jelas apakah temuan itu bersifat kasuistik ataukah dominan. Jika hanya segelintir karyasiswa yang melakukan, semestinya Dikti tidak perlu mengganti sistem secara substantif tanpa dibarengi perencanaan matang dan masa ujicoba serta evaluasi yang jelas. Kebijakan ini sama halnya dengan kata pepatah “membakar lumbung padi demi menangkap tikus”. Semestinya, karyasiswa itu lah yang harus dituntut dan dihukum jika terbukti nakal dan melakukan penipuan. Untuk mencegah masalah yang sama, kasusnya mungkin perlu diumumkan sehingga menjadi pelajaran bagi karyasiswa lainnya.

Jalur komunikasi macet

Meskipun kerumitan yang berasal dari dua faktor diatas terjadi, Dikti semestinya mampu menerapkan manajemen konflik dengan menempatkan staf yang khusus meladeni setiap email dan upaya komunikasi yang dibangun karyasiswa. Kelancaran komunikasi ini akan menghilangkan prasangka negatif dan bisa mengeliminir riak perselisihan antara kedua pihak. Namun kenyataannya, barangkali hampir seluruh karyasiswa mengalami kemacetan komunikasi berupa email tidak dibalas oleh staf Dikti. Padahal, media efektif yang paling mungkin digunakan antara kedua pihak hanyalah email. Dengan menerima berita/penjelasan (betapapun singkatnya) lewat email, karyasiswa tentu punya kejelasan mengenai status permasalahannya sehingga mereka bisa mengatur langkah berikutnya. Sebaliknya, tidak membalas email sama artinya memperbesar masalah karena karyasiswa yang panik bisa saja berpikiran negatif dan akan mencari cara lain untuk mengontak petugas Dikti, misalnya mengirim SMS atau bahkan menelpon. Kedua cara terakhir ini tentu jauh lebih intimidatif ketimbang email. Alhasil, komunikasi antara karyasiswa dan staf Dikti malah bisa memburuk.

Solusi

Untuk mengatasi masalah ini secara permanen, penulis sangat setuju dengan usulan Direktur Diktendik yang didukung oleh Perhimpunan Karyasiswa Dikti Luar Negeri (PKDLN) melalui pernyataan sikapnya, bahwa BPPLN Dikti hendaknya diurus oleh BLU yang profesional seperti LPDP. Akan tetapi solusi ini bersifat jangka panjang dan secepat-cepatnya hanya akan bisa berlaku bagiangkatan 2015 keatas. Untuk mengatasi persoalan kronis bagi karyasiswa saat ini, setidaknya ada tiga solusi jangka pendek. Pertama, Dikti perlu mengevaluasi total sistem birokrasi yang telah diterapkan sehingga karyasiswa tidak dirugikan gara-gara kerumitan managemen administrasinya. Kedua, Dikti perlu mempermudah proses pengurusan berkas karyasiswa dengan memperbaharui managemen perencanaannya dan mengadopsi “paperless management” / manajemen berbasis tanpa kertas (digital). Dengan manajemen ini, karyasiswa tidak rugi waktu lagi dikarenakan hilang/tercecernya bukti fisik berkasnya. Ketiga, keran komunikasi dua arah harus dibuka selebar-lebarnya oleh Dikti dengan cara menempatkan satu staf yang tugas utamanya menjawab semua korespondensi. Semoga dengan solusi ini, karyasiswa Dikti mampu menegakkan kepala dan berkata, “saya bangga di biayai BPPLN Dikti”.

Hanafi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun