Sebagai Bangsa yang mayoritas Muslim, Indonesia mestinya belajar dari kegaduhan yang terjadi di Timur Tengah. Timur Tengah sekarang berada dalam pusaran teror komunitas ekstrem, dengan legitimasi teks sakral keislamanan (al-Quran dan Hadis) mereka membenarkan tindakan membunuh orang-orang yang tidak bersalah, ibu-ibu, anak-anak. Bahkan menurut etika perang dalam hukum Islam, anak-anak dan perempuan dilarang dibunuh.
Ketika dunia Arab sedang dilanda krisis, berita peperangan menjadi bahan bacaan dan tontonan kita tiap hari. Ironinya, konflik berkepanjangan itu terjadi di Timur Tengah. Negeri para Nabi. Yahudi, Kristen, dan Islam berawal dari negara-negara tersebut.
Agama tampaknya sedang sibuk dengan konfliknya sendiri, isu Sunni-Syiah di Timur Tengah sedang akut. Boro-boro mau mendamaikan, agama justru ditunggangi dengan kepentingan sesaat yang tidak bertanggung jawab. Terlebih ketika ISIS yang mengklaim gerakannya dilandasi dengan motif keagamaan. Sehingga agama menjadi tumpul ketika menghadapi konflik politik dan perubutan minyak. Sebab sependek bacaan saya, kegaduhan yang terjadi di Timur Tengah adalah perebutan minyak.
Tidak bisa dipungkiri jika Timur Tengah adalah penghasil minyak terbesar di dunia. Banyak pihak yang berkepentingan dibalik itu. Dalam konteks ini, benar kiranya apa yang ditulis George Friedman dalam bukunya yang dikutip oleh Komaruddin Hidayat, The Next 100 Years, ketika terjadi kekacauan di dunia Islam, khususnya di Timur Tengah, pemenangnya tetap saja Amerika Serikat.
Potensi Alam
Penyebab utama kegaduhan yang terjadi di Timur Tengah adalah tata kelola potensi alam. Bahkan negara-negara asing pun terlibat dalam perebutan itu. Kendati ‘malu-malu kucing’, keterlibatan Barat dalam pertarungan itu sangat terlihat. Dari Kasus Suriah misalnya, Rusia memihak kepada  pemerintahan, sedangkan Amerika Serikat mendukung kelompok oposisi.
Pertarungan perebutan potensi alam sebenarnya pernah terjadi di Indonesia. Rempah-rempah, cengkeh dan yang lain pernah diperebutkan oleh Belanda, Portugis, dan Inggris. Namun Belandal tampil sebagai pemenang, dan ‘berhasil’ menjajah bangsa Indonesia dalam kurun waktu ratusan tahun.
Pemicu konflik dan tindakan radikal di suatu negara bisa disebabkan oleh tata kelola kekayaan alam yang semeraut. Pribumi lokal yang seharusnya menikmati hasil alam justru gigit jari melihat orang-orang asing yang menguasinya. Setidaknya itulah yang terlihat dalam kasus batubara, tambang emas di Indonesia. Kendati kita sudah merdeka, namun ‘aroma’ penjahahan ekonomi itu lambat laun mulai terlihat.
 Hafidz Abbas (ketua Komnas HAM) mengingatkan ketika memberikan materi di pengajian bulanan Muhammadiyah, Menteng, Jakarta (9/4/2016) agar pemerintah serius dan adil mengelola kekayaan alam Indonesia. Sebab menurutnya, jika pemerintah tidak becus mengelola aset tersebut, ketimpangan ekonomi akan terjadi yang berujung kepada gerakan protes terhadap pemerintah. Gerakan ini sangat berpotensi melawan negara yang membawa kepada aksi-aksi terorisme atau ekstrimisme. Jadi menurutnya, gerakan teror tidak melulu dilandasi motif keagamaan.
Oleh sebabnya, gerakan deradikalisasi bukan saja menjadi tugas ulama untuk merekonstruksi pemahaman keagamaan yang moderat, tetapi juga tugas pemerintah agar bisa meredam angka kesenjangan sosial yang sudah sangat tinggi, antara si kaya dan si miskin sudah sangat berjarak.
Sebab, motif teror juga bisa dilandasi adanya kecemburuan status sosial, ditambah lagi dengan ‘gombal’ kenikmatan akhirat yang dijanjikan kelompok radikal bila bergabung. Orang-orang yang lemah secara ekonomi, kemudian kecewa dengan sikap pemerintah seperti ini sangat rentan untuk bergabung dengan kelompok radikal.