Mendengar kata sekolah, maka yang mungkin kita  bayangkan adalah sebuah bangunan luas dengan banyak ruang yang terbagi-bagi lagi menjadi kelas. Kemudian mungkin, di depannya terpasang sebuah tulisan besar; nama sekolah tersebut.Â
Masuk sedikit, bisa dilihat papan besar berisi visi-misi mulia dari lembaga akademis yang satu ini, mungkin juga sambil bersandingan dengan daftar lulusan yang masuk universitas-universitas besar tahun lalu. Kemudian di tengah lapangan, bendera merah putih dicanangkan dengan kokohnya menjadi kiblat hormat murid-murid saat upacara.
Namun gambaran tersebut boleh jadi hanya bisa dibayangkan oleh orang-orang kota yang dengan segala privilesenya, mampu bersekolah di 'sekolah' yang kini diakui banyak orang sebagai sekolah.Â
Lalu bagaimana dengan di daerah-daerah misalnya, daerah 3T atau daerah tertinggal, terdepan, dan terluar Indonesia? Atau bagaimana juga dengan di pulau-pulau yang sayangnya tak mendapat infrastruktur semegah milik Jawa? Atau di Jawa pun, bagaimana dengan daerah-daerah pinggir kota yang bahkan mungkin sedikit lagi akan menjadi tumbal atas nama modernisasi?Â
Daerah-daerah tersebut, yang kebanyakan dari kita hanya melihatnya lewat TV, dengan sekolahnya yang digambarkan sebagai bangunan bobrok dan murid-muridnya mungkin juga tak mampu beli seragam, masihkah bisa disebut sekolah?
Kembali ke zaman-zaman di mana pemikiran Socrates membuat orang-orang Yunani kala itu mulai gemar 'berpikir,' kemudian 'sekolah' menjadi sebuah tren, kata tersebut sebenarnya berasal dari Bahasa Yunani; skhole, scola, scloae secara harfiah berarti 'waktu senggang', diambil dari kebiasaan orang Yunani tempo dulu.Â
Pada masa itu, mengisi waktu luang dengan datang ke tempat-tempat tertentu dan belajar suatu hal yang baru menjadi sebuah hobi. Mereka menyebut hobi itu dengan kata 'skhole', yang memiliki arti 'waktu luang yang digunakan secara khusus untuk belajar' (leisure devoted to learning).Â
Kemudian hobi ini menjadi kebiasaan di mana para orangtua akan mengirimkan anak-anak mereka, baik perempuan maupun laki-laki, pada seseorang yang dianggap cakap dalam hal tertentu, dan di sana mereka akan bermain dan belajar tentang apa saja yang mereka rasa perlu pelajari.Â
Sejak saat itu fungsi sekolah yang mulanya scola matterna (pengasuhan ibu sampai usia tertentu), maksudnya tempat ibu belajar untuk kemudian diajarkan kembali pada anaknya, menjadi scola in loco parentis (lembaga pengasuhan anak di waktu senggang di luar rumah sebagai pengganti ayah dan ibu).
Lalu di masa sekarang, agaknya makna sekolah ini mengalami pergeseran menjadi institusi tempat diadakannya pengajaran, tetapi tidak lagi semerdeka dalam asal arti katanya yang berarti 'waktu senggang'.Â
Makna sekolah ini kemudian dipersempit dengan sistem-sistem pengajaran yang tidak memerdekakan pikiran. Kurikulum dibentuk seolah-olah sebatas formalitas untuk mendapatkan ijazah, tanpa membahas esensi dari sekolah itu sendiri.