Ketika manusia ditanya, apa tujuan mereka mulai dari lahir sebagai makhluk yang hidup bernyawa hingga meninggal? Kata bahagia sering menjadi jawab atas pertanyaan tersebut. Namun disetiap individunya, kata bahagia memiliki makna yang dinamis dan universal. Bisa saja makna bahagia yang dimiliki oleh seorang ayah, belum tentu selaras dengan apa yang dimaknai oleh seorang anak. Namun jika dikaji bertasarkan etimologisnya, bahagia adalah perasaan tentram, nyaman, dan bertolak belakang dengan definisi yang dimiliki oleh kesengsaraan. Selain itu, bahagia juga sering kali dikaitkan dengan rasa syukur atas nikmat yang diberikan oleh Tuhan. Dan rasa syukur tersebut, diharapkan dapat memberikan suatu kecukupan hidup yang tentram juga nyaman. Namun bagaimana jika yang menjadi alasan dari kebahagiaan itu sendiri bukanlah dari sang Pencipta?
      Pada tahun (341-270 sM) Adalah masa dari kaum Epikuros. Filsafat yang dikaji oleh Epikuros adalah filsafat etika, yang menyebutkan bahwasannya kebahagiaan dan kenikmatan adalah dua hal saling berketerkaitan. Sebab kebahagiaan adalah hasil dari suatu kenikmatan yang dirasakan oleh seseorang. Namun, Epikuros juga menekankan bahwasannya tidak semua kenikmatan harus didapatkan, sebab ada pula beberapa kenikmatan yang perlu dijauhi serta ditinggalkan. Menurut Epikuros, sesuatu akan dianggap baik jika hal tersebut membawa suatu kesenangan, kenikmatan dan kepuasan. Maka, kajian utama dari filsafat kebahagiaan yang diargumentasikan oleh Epikuros adalah bagaimana seorang manusia itu berperilaku dan berusaha untuk menghasilkan kenikmatan dan kesenangan serta keutamaannya.
      Apa yang dimaksud dengan keutamaan? Menurut Epikuros, keutamaan hidup adalah kebijaksanaan dalam mendapatkan suatu kenikmatan. Kenikmatan yang diartikan sebagai sesuautu yang negatif yakni tidak adanya rasa sakit dan kegelisahan hidup. Kenikmatan juga disebutkan oleh Epikuros merupakan awal dan akhir dari kebahagiaan. Hanya saja, kenikmatan tersebut tidaklah serta merta mudah untuk didapatkan oleh setiap orang, sebab disetiap jalan untuk mencapainya pasti terdapat hambatan-hambatan terutama dalam memperoleh keutamaannya. Bagi Epikuros, hambatan-hambatan itu muncul akibat adanya kecemasan manusia yang bersumber dari rasa takut manusia pada dewa dan rasa takut akan kematian. Maka, untuk menghilangkan kecemasan tersebut, Epikuros memiliki kepercayaan bahwasannya filsafat adalah terapi bagi kehidupan, memberikan empat obat mujarab yang disebut dengan tetrapharmakos:
(1)Â God presents no fears.
(2)Â Death no worries
(3)Â Good is readily attainable
(4)Â Bad is readily endurable.
Secara keseluruhan, tetrapharmakos adalah kata kunci dari filsafat Epikuros, dan yang akan menjadi topik utama dari yang dikaji oleh penulis adalah mengenai point utamanya, yakni God presents no fears. Menurut Epikuros, manusia yang terlalu memiliki kecemasan berlebih terhadap pantangan-pantangan yang diberikan oleh Dewa hanya akan membawanya kepada kesengsaraan. Pada masa itu, Dewa Zeus sering kali dianggap sebagai Dewa yang murkanya sangat luar biasa ketika ada hamba yang melanggar perintah. Oleh sebab itu, Epikuros menyebutkan bahwasannya, yang perlu manusia perhatikan guna mencapai kebahagiaan adalah ada pada dirinya sendiri. Dewa dan hal lain tidak memiliki wewenang dalam mencapai kenikmatan itu. Jadi manusia berhak untuk tidak mengaggap presensi Dewa dan hidup pada jalannya sendiri. Pemikiran Epikuros inilah yang menjadi awal dari pemikiran filsuf lain mengenai Agnostigsme dan Atheisme.
       Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H