Gelap. Juan tidak bisa melihat apa pun sejauh mata memandang. Kepalanya sakit dan badan terasa ngilu. Ia mengerjap-ngerjapkan mata mencoba beradaptasi dengan ruangan tanpa sumber cahaya sedikit pun. Tetesan merah pekat merembes melelaui rongga mata kiri secara konstan. Menyisakan perih yang tak akan pernah bisa dilupakan. Juan pun ragu jika bola matanya masih utuh di tempatnya.
Hal terakhir yang membekas dalam ingatan, Juan terjerembap dari tangga dan terjebak di lorong tak berujung ini. Satu tangannya masih bertumpu pada dinding lembap, memaksa kedua kaki berdiri meski terdengar suara retak dari persendian. Juan terlonjak, hampir berteriak. Cepat-cepat ia membungkam mulut begitu deretan lampu gantung menyala bersamaan. Memperlihatkan barisan potongan kepala dilapisi adonan lilin bercampur porselen putih, berjejer di atas altar sepanjang lorong yang lebarnya tak lebih dari dua meter.
Tiba-tiba ia merasakan seseorang telah berdiri tepat di belakangnya, mengacungkan mata pisau yang siap menebas leher Juan kapan saja. Ia ingin kabur, tetapi sekujur tubuhnya menjadi kaku. Tak bisa digerakkan. Bahkan hanya sekedar berteriak pun tak bisa.
“Dasar seniman kenthir.” Mulut Juan akhirnya bersuara parau.
Sang lawan bicara terdiam, tidak bergerak sedikit pun. Ia justru memperkuat genggaman pisaunya hingga menciptakan sayatan setipis benang di leher Juan. Siapa pun sosok itu, Juan sudah mengetahui jawabannya. Hanya ada satu nama yang terlintas dalam pikiran.
Juan terkekeh. Ada nada ganjil di setiap tawanya. “Aku penasaran bagaimana rasanya jadi koleksimu.”
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H