MPLS SMA Karya Taruna selesai pada pukul dua tiap harinya. Belum terlalu sore, jadi Andes mengusulkan kalau diskusi tentang tugas yang diberikan tempo hari saat itu. Kikan dan Defras pun mengiyakan.
Tiga murid baru itu memutuskan untuk berdiskusi di taman publik yang tidak jauh dari sekolah. Mereka duduk di tempat duduk panjang berkeramik, berhadap-hadapan. Kikan dengan Andes, sementara Defras seorang diri. Diskusi pertama itu pun buru-buru dibuka oleh Kikan.
“Well, pertama-tama aku rasa kita harus mengutarakan gagasan kita, lalu memilih mana yang lebih cocok untuk dikerjakan dalam waktu yang singkat ini,” ucap Kikan sambil menatap mata Andes dan Defras bergantian. “Ini dari pengalamanku sendiri, sih. Berhubung aku susah bangun, jadi penemuan kita adalah jam weker berbau busuk. Cara kerjanya kayak penyemprot pengharum ruangan otomatis, gitu.”
Tanpa jeda yang berarti, Andes langsung menyahut. “Ya, hampir sama. Aku suka main game, jadi penemuannya bikin aplikasi sensor kayak mobil, tapi ini buat yang main Pokemon Go. Meski nggak lihat jalan, pemain bisa terhindar dari hal buruk, karena aplikasi itu mengingatkan kalau ada bahaya.”
Kikan mengangguk, kemudian menatap Defras dan menanyakan bagaimana dengan ide cowok irit senyum itu.
“Ide kalian bagus, tapi sayangnya waktu kita sedikit. Aku hanya berpendapat saja, ide Kikan lah yang layak direalisasikan,” ujar Defras sambil membenarkan letak kacamata dengan telunjuk di awal kalimat. Kikan mulanya ingin tersenyum, karena idenya terpilih, tapi ia mengurungkannya. Ia ingat, tersenyum pada Defras itu menyakitkan pasalnya tidak akan pernah mendapat balasan.
Perkataan Defras sangat benar, jadi Andes pun sependapat. Kemudian, ia mengeluarkan buku tulis untuk mencatat bahan-bahan yang dibutuhkan serta rancangan kerjanya. Begitu terselesaikan, Kikan mengusulkan untuk pulang dan dilanjutkan besok di waktu dan tempat yang sama.
Sebenarnya, saat berjalan ke parkiran, Defras ingin menanyakan sesuatu pada Kikan, tapi sayangnya Andes mendahului. Ia memang terlalu lama menimbang-nimbang, makannya kehilangan kesempatan.
“Eh, dari pada nunggu jemputan, aku anterin aja,” tawar Andes pada Kikan. Gadis itu sedikit berpikir, kemudian mengiyakan. Toh, rumahnya tidak jauh, jadi tidak akan merepotkan.
Mereka akhirnya berpisah di parkiran, karena arah rumah Defras berbeda dari Kikan dan Andes. Saat berkendara, Defras merasa ada sesuatu mengganjal di hati dan mengganggu konsentrasi. Berkali-kali ia hampir terserempet pengendara yang mendahului, lalu mendapat makian-makian. Jadi, ketika ada taman jalan pemisah arah berkendara, ia berbelok dan menambah kecepatan semampu yang ia bisa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H