Bulan lalu, tepatnya pada tanggal 17 September, saya berkunjung ke Yogyakarta dalam rangka wisata. Perjalanannya sendiri dimulai sehari sebelumnya yaitu pada pukul delapan malam, karena domisili saya di Kediri, Jawa Timur.
Wisata ini sebenarnya dalam rangka liburan tahunan dari kantor mama, tapi berhubung kursi busnya ada yang sisa, saya dan adik akhirnya bisa ikut. Untuk tempat tujuannya sendiri, ada tiga yakni candi Prambanan, gunung Merapi, dan Malioboro. Di antara ketiganya, saya paling terkesan pada tempat tujuan kedua, selain memang belum pernah dikunjungi sebelumnya.
Pukul empat pagi, rombongan sampai di ibu kota Jawa Tengah dan disambut hujan yang cukup deras. Begitu turun dari bus, orang-orang bergegas mengambil tas dalam bagasi lantas segera memasuki rumah makan Grafika. Sarapan baru akan terhidang dua jam kemudian, jadi mandi dan sholat adalah kegiatan yang dilakukan untuk menunggu.
Kurang dari jam tujuh, kami tiba di Prambanan dan masing-masing mulai berfoto menggunakan ponsel dengan latar candi tersebut sepuluh menit kemudian. Agenda wisata ini diutamakan di gunung Merapi, jadi kami tidak begitu lama di sini. Setelah berfoto menggunakan jasa pemotret yang sudah disediakan, kami meninggalkan kompleks candi. Berjalan pelan-pelan, kemudian ke toilet dan membeli oleh-oleh untuk menunggu hasil foto, yang bisa diambil di dekat pintu keluar. Harga yang ditebus sebesar 10-15 ribu, entahlah saya kurang ingat. Namun, saya pribadi senang memandangi foto berukuran 10 R tersebut, karena semuanya memakai baju berwarna merah sebagai dresscode. Terlihat kompak pun menarik.
Berpindah dari candi Prambanan ke gunung Merapi diperlukan waktu satu jam lebih. Setibanya di sana, kami sudah disambut berderet mobil off road. Saya sempat ber-oh dalam hati. Jadi, ke puncaknya naik kendaraan khusus medan terjal itu? Sebelumnya tidak pernah terpikirkan sama sekali. Gunung Merapi, yang lebih tepatnya museum Merapi, tempat yang kami kunjungi, saya kira berada di dataran rendah.
Satu mobil off road bisa diisi lima orang termasuk sang driver. Adik duduk di depan, sementara saya, mama, dan teman mama duduk di belakang. Dasarnya saya dan mama suka naik wahana-wahana yang memacu Adrenalin, maka kami berdua berdiri sambil menyeimbangkan tubuh saat mobil melaju, menerjang medan yang tampaknya mustahil dilalui, tapi nyatanya bisa. Bahkan, pada satu momen, mobil sudah sangat miring dan saya sangat deg-degan. Bagaimana kalau benar-benar terbalik?
 Mengingat tidak ada safety yang diberikan pihak wisata semisal saja pelindung kepala. Tapi, ternyata situasi tersebut hanya gimmick yang dilakukan driver agar perjalanan semakin seru. Saya pun sepakat kalau memang seru, bahkan sangat, karena bisa berteriak-teriak seperti naik roller coaster. Namun, jika dibandingkan, tentu jauh lebih seru ini. Selain tegang, kolaborasi pemandangan dan hawa yang ditawarkan dijamin membuat ketagihan!
Mobil off road tidak lantas menuju puncak, ada dua pemberhentian terlebih dahulu. Pemberhentian pertama adalah museum Merapi. Museum ini tidak seperti pada umumnya, karena bukanlah bangunan yang sengaja dibangun, melainkan sisa-sisa rumah dan barang yang diletakkan secara teratur di dalamnya. Luasnya tidak seberapa, hanya ada empat rumah, di mana rumah terakhir terpisah jarak yang tidak terlalu jauh.
Di dinding luar rumah, ada potret-potret proses meletusnya gunung Merapi, ekspresi sedih korban, bangkai-bangkai kendaraan serta hewan ternak, dan lain sebagainya, yang intinya berkenaan dengan bencana alam tersebut. Entah hanya saya saja, atau yang lainnya juga, melihat potret tersebut membuat dada saya sesak. Saya bisa merasakan kesedihan para korban. Kehilangan anggota keluarga, kehilangan harta benda.
Semakin memasuki rumah, perasaan saya berubah kagum. Peralatan-peralatan rumah tangga yang leleh lantaran wedus gembel atau hawa panas yang dikeluarkan gunung Merapi, justru tampak lebih artistik. Lalu, tulang-tulang sapi yang digantung dan disatukan utuh, membuat saya teringat museum purbakala. Sayangnya, perasaan kagum saya terhenti seketika saat memasuki rumah terakhir.
Begitu melewati pintu, dada saya sesak lagi, bahkan kali ini lebih hebat. Di dekat pintu ada rak yang berisi buku-buku. Saya iseng menyentuhnya dan kontan merasakan perasaan yang aneh. Di hati prihatin, tapi bibir malah tersenyum. Beberapa langkah dari situ, ada sebuah ruangan, yang mungkin dulunya adalah kamar.Â