Saya tahu kok kalau bicara tentang Covid-19 itu basi. Dengan kata lain, katakanlah, "Kamu tidak sendirian. Banyak orang lain di luar sana juga mengalami hal demikian." Maka, ketika saya melakukannya, jelas saya tidak bermaksud mencari simpati. Di situasi ini, saya hanya ingin atau merasa cukup mendapat suntikan semangat dari seseorang yang saya hormati, tetapi dia tidak acuh. Dia tidak merespons apa-apa. Saya mau apa lagi? Sudahlah, cukup, tidak perlu menilai saya mencari simpati, oke?
Kemarin, Papa saya dinyatakan positif Covid-19. Posisi beliau sekarang di Mamuju, sedang mengerjakan proyek renovasi rumah sakit. Dikarenakan Mamuju adalah kota kecil, maka untuk perawatan medis pun terbatas. Alhasil, Papa dirujuk ke Makassar untuk mendapatkan perawatan. Kedua daerah itu jika ditempuh dengan jalur darat akan memakan waktu delapan jam. Saya membayangkan betapa beratnya perjalanan itu, baik untuk pasien atau tenaga kesehatan sendiri.
Papa saya adalah orang yang menerapkan pola hidup sehat. Beliau jarang sekali sakit. Makanya, ketika Papa dinyatakan positif Covid-19, saya syok. Apalagi, Papa juga mengalami komorbid alias penyakit penyerta. Setelah melakukan CT scan, karena Papa mengeluh pusing alih-alih gejala Covid-19 pada umumnya, didapatkan hasil kalau Papa mengalami gejala stroke.
Berawal dari pola hidup sehat, paru-paru Papa pun baik. Alhasil, virus Covid-19 menyerang organ lain alih-alih pernapasan. Papa tidak sesak, bahkan indra pengecap dan penciuman masih berfungsi. Apalagi, makan, Papa masih lahap. Hanya saja, tangan dan kaki Papa susah digerakkan. Begitu pula dengan bicara. Dokter akhirnya menyimpulkan kalau yang harus lebih diwaspadai adalah gejala stroke-nya, bukan Covid 19-nya.
Tidak perlu congkak jika mempunyai suatu gaya hidup. Terbiasa hidup sehat bukan jaminan dan tidak perlu besar kepala kalau terbiasa tidak sehat karena dinilai menikmati hidup dan sampai sekarang tidak apa-apa. Hasil akhirnya tetap sama. Manusia bukan makhluk abadi. Di sini masalah waktu saja dan pilihan masing-masing orang.
Meski sudah banyak pasien Covid-19 sembuh, tidak perlu mengeneralisasi kalau virus ini mudah disingkirkan. Papa punya gaya hidup sehat, sudah vaksin, ada suatu obat yang diklaim ampuh, tetapi nyatanya apa? Pihak yang mengeneralisasi mengambil sudut pandang umum. Keadaan itu berlaku untuk suatu golongan, bukan golongan lain seperti orang tua yang lebih rentan. Okelah, generalisasi itu didapatkan dari pengalaman, tetapi apa salahnya bersimpati?
Tidak perlu juga mencari kebenaran dalam situasi ini. Oh, dia terjangkit Covid-19 pasti dibayar. Atau, berpikir soal konspirasi. Manusia diciptakan untuk bertahan hidup. Memang akan terlihat superior kalau bisa membuktikan kebenaran, bahkan sampai mengambil risiko dengan tidak percaya dan menantang Covid-19? Risiko yang dapat merenggut nyawa jelas harus dihindari. Oleh karena itu, sebaiknya sekarang menjaga diri baik-baik. Buang sikap arogan.
Menilai Covid-19 mudah disembuhkan tidaklah bijak. Kondisi tubuh setiap orang berbeda. Belum lagi perbedaan jumlah virus dalam tubuh yang dipresentasikan dengan nilai CT. Di situasi genting ini juga tidak perlu bersikap arogan dengan merasa superior sudah hidup sehat dan mencari-cari kebenaran yang justru berisiko. Bertahanlah hidup dan saling menguatkan, itu saja!Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H