Saya adalah tipikal orang yang berpikir secara mendalam, sehingga terkesan idealis dan filosofis. Hal itu membuat saya lebih tua dari umur saya sebenarnya. Selain itu, saya lebih cepat lelah sebab banyak hal yang mengganggu pikiran saya. Singkatnya, saya suka berpikir. Sekilas tidak ada yang salah pada seorang pemikir. Namun, ketika berhadapan dengan orang lain, pikiran yang idealis dan filosofis tidak bisa diterima begitu saja. Tidak semua orang menganggap suatu perkara itu patut dipikirkan.
Pikiran idealis dan filosofis saya pada akhirnya membuat saya mudah melabeli suatu hal menjadi benar dan salah. Padahal, pemikiran saja tidak cukup bukan sebagai alat penilaian? Fakta dan pengalaman di luar sana yang tidak diketahui perlu dipertimbangkan juga sebagai tolok ukur seseorang dalam menentukan sudut pandang. Saya pun angkat tangan dalam memperdebatkan benar dan salah ini sebab orang lain tidak mau menerima pemikiran saya.
Benar dan salah adalah sebuah perspektif pribadi. Seseorang yang mencuri ditetapkan bersalah di mata hukum. Namun, bagi sang pelaku, tindakannya adalah benar dalam rangka menghidupi keluarganya. Berkaca dari fenomena ini, benar dan salah merupakan suatu hal dalam mencapai final, sehingga ada patokan yang ditetapkan sebagai yang paling ideal. Di samping itu, dalam benar dan salah selalu ada kemungkinan.
Contoh memperdebatkan benar dan salah dapat dilihat dari pihak yang serang argumen dalam acara infotainment. Artis A menyewa pengacara kondang. Begitu pula dengan artis B. Penonton pun bingung siapa yang benar dan salah.Â
Jika mencoba mengklasifikasikan dikotomi ini, sudah pasti akan pusing sendiri lantas tidak mau ketinggalan perkembangan beritanya. Namun, jika ingin menjadikannya tontonan semata, bersikaplah netral. Kemungkinannya ada dua: semua salah atau semua benar. Sama seperti perspektif, media juga seperti itu, ada hal-hal yang ditunjukkan dan disembunyikan, sehingga menimbulkan pertanyaan di benak penonton.
Orang dengan gangguan mental tidak akan dijatuhi hukuman jika melakukan suatu tindak kriminal sebab dia memang tidak bisa berpikir selayaknya orang normal. Berawal dari hal ini, saya pun mendapatkan pemahaman bahwa tidak ada hukum bagi orang yang tidak tahu.Â
Dia wajar jika salah. Begitu pula dengan orang yang menghina orang lain sebab dia tidak mengenal orang itu secara baik. Kerja di rumah dikatai pengangguran. Punya suatu minat dipandang rendah sebab orang itu tidak punya minat yang sama. Begitulah, salah dua contoh dari pengalaman saya.
Pertanyaan "kapan menikah" dan kapan-kapan yang lain jika dipikirkan secara idealis dan filosofis tidaklah etis sebab tidak tahu kapan akan terjadi. Alhasil, ada banyak guyonan untuk membalas penanya dengan "kapan mati." Awalnya saya menentang pertanyaan model "kapan" ini, karena pemikiran saya pun cenderung kebarat-baratan di mana sangat menjaga privasi.Â
Namun, saya sadar bahwa saya tinggal di negara dengan budaya timur dengan unsur kekeluargaan yang kental. Dari perspektif ilmu bahasa, pertanyaan itu adalah tindak tutur ekspresif dengan subkategori showing concern. Jadi, pertanyaan "kapan" sebenarnya tidak benar-benar bertanya, tetapi sebagai bentuk kepedulian sekaligus basa-basi.
Orang-orang yang bertanya "kapan" berarti memiliki pemikiran budaya timur yang masyarakatnya guyub. Lantas, apakah saya yang memiliki pemikiran kebarat-baratan ini salah? Tidak, saya benar jika tinggal di luar negeri. Jadi, semua benar berdasarkan perspektif masing-masing. Untuk menyamakan benar dan salah ini, diperlukan adaptasi. Orang yang tidak tahu cara berpikir orang lain ya tidak salah.
Pergumulan benar dan salah paling ekstreme yang saya alami sampai menyebabkan impostor syndrome terjadi di lingkungan kampus. Hal itu dipicu oleh fear of rejection bahwa ketidak bisaan saya ini akan membuat orang lain menilai saya tidak layak diterima di pergaulan. Iya, yang perlu digaris bawahi adalah pergaulan sebab dosen saya sudah memberikan validasi terhadap kemampuan saya. Ibaratnya, satu kilogram berlian belum cukup bagi saya ketimbang sepuluh kilogram besi.