Lawan dari insecure adalah percaya diri. Dengan begitu, tidak ada lagi rasa rendah diri dan siap untuk menjalani kehidupan ini dengan semangat. Namun, apa pun yang berlebihan memang tidak baik. Menunjukkan rasa percaya diri yang melebihi takaran justru akan menipu diri sendiri bahwa sebenarnya masih ada insecurity tersebut.
Menerapkan rasa percaya diri memang ampuh untuk melawan insecurity. Ada sugesti yang mengatakan bahwa kita berharga. Namun, apakah yang dibanggakan memang sebanding dengan nilai tersebut? Katakanlah, tidak perlu membesar-besarkan pencapaian hanya ingin dipandang hebat. Itu berarti pencapaian saat ini masih belum sebesar itu, tetapi mencoba menipu diri sendiri bahkan orang lain bahwa sudah berhasil dalam standar tertentu.
Berproseslah dalam diam sembari terus bergerak. Kalau memang sudah saatnya apa yang telah dihasilkan diketahui khalayak, semua akan tampak dengan sendirinya. Dengan begitu, kita akan membuktikan nilai diri lebih kepada diri kita sendiri daripada penilaian orang lain yang tidak akan pernah ada habisnya.
Contoh yang paling sederhana dari merasa superior adalah pura-pura sibuk. Kemudian, mengesankan bahwa hal selain kepentingannya adalah omong kosong belaka. Hai, kita hidup berdampingan dengan orang lain. Apakah dengan pura-pura sibuk kamu merasa keren? Toh kalau memang sibuk ya mana sempat berkoar-koar. Kalau ditanya baru jelaskan kegiatanmu. Jadi, tidak perlu ingin diistimewakan sebagai orang sibuk.
Merasa superior juga terlihat dari membesar-besarkan sesuatu yang sebenarnya biasa saja. Dipercaya sebagai panitia yang tugasnya sekadar bantu-bantu, tetapi mengeluhnya tidak keruan saking capainya, bahkan ketua saja kalah. Biar apa? Biar dipandang wah. Kalau memang itu bagianmu ya sudah. Justru ketika diam saja malah aman, tidak terlihat insecure.
Hobi membuat orang lain menunggu? Hati-hati, ini pun tanda-tanda kalau sebenarnya kamu insecure. Kalau ada janji dengan orang lain ya ditepati. Tunjukkan rasa hormat dengan datang tepat waktu atau setidaknya tidak membuat orang lain menunggu dalam waktu lama. Jadi, ketika berinteraksi dengan orang lain posisikan diri sesetara mungkin. Tidak perlu sok-sokan merasa dipentingkan, karena setiap orang memiliki kepentingan masing-masing.
Bagaimana dengan melebih-lebihkan pencapaian di media sosial? Sangat wajar, mengingat fungsinya sendiri sudah berbelok ke show off media, tempat ajang pamer termudah dengan jaringan luas. Kalau ingin menunjukkan ya sewajarnya saja. Orang lain dapat menilainya sendiri. Lagi, kalau merasa superior itu tandanya ingin melambungan diri yang sebenarnya belum sehebat itu.
Ingin terlihat superior juga termanifestasi pada perilaku yang ingin berusaha tampil paling banyak tahu. Ya ada saatnya kalau ingin menunjukkan pengetahuan. Masa ketika ada orang lain sedih lantas sok-sok membahas ilmu psikologi. Yang ada malah dicap suka melabeli seenak jidat. Psikolog itu apa saat pasien konsultasi malah menunjukkan ilmunya? Ya tidak. Mereka bertindak sebagai teman yang siap mendengarkan. Teori itu diaplikasikan, tidak disampaikan bulat-bulat. Ngono.
Ingin merasa superior ya sah-sah saja, asalkan memang sudah sepantasnya. Contohnya, sikap dosen ke mahasiswa yang ingin dihormati. Kalau dalam kehidupan sehari-hari, buang jauh-jauh perasaan itu. Ingin dipandang keren, padahal tidak keren ya sama saja tindakan bodoh. Yang paling penting bangun nilai diri dulu, karena kalau sudah saatnya akan tampak dengan sendirinya. Dipandang tidak berguna ya terserah, memang nilai diri mereka lebih baik? Pada akhirnya, dapatkan validasi dari orang yang berkapasitas. Tetaplah rendah hati dan bergaullah dengan orang-orang yang tepat. Ajaran filsafat Socrates tidak buruk juga diterapkan bahwa satu yang aku tahu bahwa aku tidak tahu apa-apa. Dengan begitu, seseorang akan senantiasa belajar dan terhindar dari sifat congkak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H