Mohon tunggu...
Gandis Octya Prihartanti
Gandis Octya Prihartanti Mohon Tunggu... Human Resources - A curious human

Manusia yang sedang menumpang hidup.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Seorang Ibu yang Meradang pada Plagiator

31 Juli 2018   11:59 Diperbarui: 31 Juli 2018   12:31 421
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: https://steemit.com/writing/@faizahmerdu/plagiarism

Kasus plagiarisme tidak henti-henti terjadi. Baru-baru ini terulang lagi oleh seorang pemuda. Berbeda dengan pelaku-pelaku lain, dia berdalih bahwa melakukan penjiplakan lantaran memiliki kekurangan, sebut saja disabilitas tersebut adalah autisme serta gangguan belajar, bergaul, dan konsentrasi (ADHD).

[Dokumentasi Pribadi]
[Dokumentasi Pribadi]
Menjadikan kekurangan sebagai tameng tidak lantas membuat permintaan maaf diterima atau bahkan mendulang simpati. Cara tersebut justru menjadi senjata makan tuan. Seorang ibu tidak terima, meradang, bahwa disabilitas tidak benar untuk dijadikan alasan menjiplak karya orang lain.

[Dokumentasi Pribadi]
[Dokumentasi Pribadi]
Pernyataan plagiator memang terkesan ingin menunjukkan bahwa penyandang disabilitas dapat dimaklumi jika melakukan kesalahan secara sengaja. Dia memukul semuarata. Padahal, hal tersebut tentu tidak bisa diapresiasi. Berkarya dalam kekurangan bukan seperti itu. Menjiplak milik orang lain sama saja dengan tidak berkarya.

Wajar jika seorang ibu yang mempunyai anak berkebutuhan khusus meradang. Mendidik dan mengarahkan mereka memang tidak mudah, apalagi sampai bisa berprestasi. Jadi, tetap tidak bisa dimaklumi. Semua individu sama kalau mau berusaha.

Penyandang disabilitas mental di negeri ini pun terlalu digeneralisir, mudah dikatakan bodoh kalau mengalami kesulitan di suatu bidang. Padahal, setiap orang tentu memiliki kekurangan dan kelebihan. Malahan, yang sering diremehkan, justru memendam potensi besar kalau lebih digali serta mendapat dukungan terbaik.

Dalam kasus plagiator, kemungkinan dia sudah putus asa dengan kekurangan yang dia miliki. Di sisi lain, dia ingin unjuk gigi melalui karya dan lebih memilih jalan pintas. Sekali lagi, itu tidak bisa dibenarkan. Dia menjadi semakin menunjukkan kalau penyandang disabilitas patut diremehkan. Lebih ironis lagi, dikasihani.

Penulis terkenal bahkan melegenda sekelas Agatha Christie pun memiliki kekurangan berupa Disleksia, yang notabene bermasalah pada bahasa. Namun, berbekal tekad kuat, tidak menyerah ketika dicap lamban, dia mampu menembus keterbatasan. Sementara itu, di Indonesia pun ada novelis perempuan Fira Basuki dengan kekurangan seperti ini.

Cukup membuktikan bukan kalau disabilitas bukan halangan seseorang untuk berkarya atau berprestasi? Jangan menyerah, itu kunci. Dukungan, itu memperkuat. Selama seseorang mempunyai passion, percayalah pada diri sendiri kalau bisa melakukan yang terbaik. Gagal, berusaha terus sampai berhasil. Kesuksesan tidak datang secara instan. Selain banyak berlatih, jangan segan mendatangi pihak berkompeten agar diberikan penanganan medis.

Semoga proses hukum di negeri ini dipermudah agar korban tidak enggan melapor, sehingga penyelesaian tidak hanya meminta maaf saja dari pihak pelaku. Dengan begitu, kasus plagiarisme bisa berkurang secara signifikan, karena ada kosekuensi tegas yang harus diterima. Untuk media sendiri, tingkatkan pengecekan pada pengiriman karya agar tidak kebobolan, salah satunya melalui aplikasi plagiarism checker.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun