Ferdie menutup buku tebalnya, lalu memandang keluar dari jendela apato. Dia mendesah, tidak terasa hampir satu tahun menempuh studi pasca sarjana di negara impiannya.
Pemuda Malang itu belajar di Jepang menggunakan beasiswa pemerintah, Monbukagakusho. Sebenarnya, waktu itu dia mengurus berkas dan mendaftar bersama seorang sahabat, tapi sayang kesempatan hanya berpihak pada salah satu dari mereka.
Kekecewaan masih melekat pada diri Ferdie sampai saat ini. Alangkah menyenangkan bukan berada di tempat asing bersama seseorang yang dikenal? Maka, hari demi hari---selain menimba ilmu, dia senantiasa mendoakan gadis itu supaya bisa menyusulnya ke sini.
Universitas Tokyo menunggumu, Cel. Tahun depan kamu pasti mendapatkannya.
Sembari lengkungan itu menghiasi bibir Ferdie, langit senja menyetujui untuk memvisualisasikan delusinya akan wajah Celine.
***
"Hai, bagaimana?" Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â
Ferdie terkesiap. Sikutan teman jalannya, Dio, membuyarkan lamunan. "Iya, aku jadi. Rasanya tidak lengkap kalau tidak menonton pertandingan bisbol selama di Jepang."
"Baguslah. Aku sudah telanjur memesan tiket untukmu."
Tidak lama setelah itu, ponsel Dio bergetar. Pesan dari sensei-nya di lembaga bahasa. Katanya dia ingin bertemu. Alhasil, mahasiswa asal ibukota ini tidak jadi pulang bersama. Ferdie mengiakan dengan sukarela. Toh, dia jadi leluasa melanjutkan lamunan.
Sebelum itu, Ferdie ber-untung saja lantaran fakultas ekonomi menyediakan kelas bahasa Inggris, sementara punya Dio tidak. Syukurlah, absennya masalah bahasa---terutama dari segi aksara, tidak menambah beban belajar.