Mawar berdiri di pinggir jalan. Cuaca sangat terik kala itu. Dia mengharapkan agar hujan segera turun. Sudah cukup fatamorgana di aspal yang seakan meledeknya. Dia butuh air atau tepatnya ingin minum. Dehidrasi.
Mawar bukannya lemah untuk berjalan sekadar masuk rumah. Dia diharuskan di sana. Dia tidak dihukum, ngomong-ngomong. Hanya saja, sebuah tugas sudah diberikan dan dia tidak bisa menyalahi takdir.
Angin berembus sepoi-sepoi. Mawar sangat menikmati. Dia lalu sedikit bergoyang. Namun, sedetik berselang, dia menyayangkan lantaran saat itu tidak ada orang yang melintas. Kalau saja melihatnya kala itu, bisa dipastikan dia akan diajak pergi. Dia 'kan cantik. Siapa yang tidak mau dengannya?
Hingga akhirnya, Mawar berpikir. Orang yang mengajaknya pergi belum tentu memperlakukan dengan baik. Bisa saja 'kan dia dibuat hancur? Dia bergidik. Kalaubegitu, lebih baik aku di sini, batinnya.
Angin yang mulanya sepoi-sepoi, menyejukkan, kali ini mulai mengencang. Tubuh Mawar yang sintal bergerak ke sana ke mari tertiup udara yang bergerak. Itu belum menjadi masalah sampai debu-debu ikut terangkat dan melekat ke kulit.
Masalah berikutnya adalah debu semakin menebal dan mulai merubah warna kulit Mawar. Dia merasa kotor. Dia malu. Dia menundukkan kepala sampai angin berhenti. Lagi pun, kalau tidak seperti itu, kotoran halus akan memasuki celah-celah kecil dan membuatnya buruk rupa.
Beberapa saat kemudian, angin perlahan-lahan memelan. Tubuh Mawar masih dibuat bergerak, tapi kali ini dengan irama yang teratur. Setelah angin benar-benar lenyap, Mawar menengadah ke langit.
Awan-awan itu menggumpal dengan ukuran yang lebih besar. Seperti terkena lunturan arang, kini warnanya menghitam. Mawar tidak ingin seperti itu. Lagi, dia 'kan cantik
... dan menggoda.
Noda seperti itu susah menghilangkan pesonanya.
Langit bergemuruh pelan seperti suara truk yang diparkir dengan keadaan mesin hidup. Mawar ber-hore dalam hati. Sebentar lagi hujan juga rupanya!