Ih, murahan banget, sih! Lagian dengan gampangnya lo tertipu sama tampang. Mending tinggalin dia karena orang kayak itu nggak bisa diharapkan.
Kebiasaan Aileen sudah berubah dua hari ini. Jika dua tahun terakhir sosok itu selalu terlintas di benaknya saat terbangun, tapi sekarang hanyalah perkataan bernada makian yang sangat menyakitkan hati. Tahu apa dia sampai-sampai berkata seperti itu? Murahan, katanya? Bahkan, semua bagian tubuhnya tidak pernah disentuh oleh seseorang yang disebut ‘dia’ itu. Malahan, gara-gara ‘dia,’ gadis itu bisa sedikit memperbaiki diri. Jadi, apakah pantas dia disebut murahan?
Aileen sadar. Itu memang kesalahannya, atau lebih tepatnya karena dia sendiri sudah melanggar apa yang sebelumnya pernah ‘dia’ katakan. ‘Dia’ pernah memperingatkannya kalau jangan menceritakan apa yang dialami atau dirasakan pada sembarang orang. Contoh kasusnya seperti yang terjadi padanya saat ini, bukan?
Penyesalan datang pada gadis itu. Toh, kalau dia memang benar-benar ingin melupakan ‘dia,’ untuk apa meminta pendapat terlebih dahulu? Hingga pada akhirnya dia mendapatkan dua luka: melupakan seseorang sekaligus mematri imej rendahan di pikirannya.
“Aku dikatain murahan, Sha,” kata Aileen.
“Kok bisa?”
Sambil menatap temannya, Aileen mengatur napas. Mau mencoba setegar apapun, dia tetap tidak bisa menyembunyikan ini. Terlebih lagi wajahnya yang tidak bisa berpura-pura kalau dia baik-baik saja.
Setelah Aileen menceritakannya semua pada Sesha, dia tidak yakin bagaimana respons temannya itu. Apakah akan sama saja? Sungguh, dia tidak sanggup menerima kenyataan kalau memang murahan meski berpegangan tangan, berpelukan, atau berciuman saja dengan ‘dia’ tidak pernah.
“Nggak usah dipikirin. Dia nggak tahu keseluruhannya, kan? Lakuin apa yang sebaiknya kamu lakuin. Yang jalanin hidup ‘kan kamu, Leen. Eh, lagian kamu juga tahu ‘kan ukuran baik buruknya sesuatu.”
Sesha benar. Apa sih murahan itu? Mau diperlakukan ini-itu sama cowok. Sementara aku? ‘Dia’ sudah membawa kebaikan buatku. Meski ‘dia’ pergi dengan cara yang menyebalkan kayak gini, sepatutnya aku mencarinya, menawarkan diri sebagai teman berbagi duka, dan tidak kalah pentingnya adalah mengucapkan terima kasih.
Selain tekadnya semakin bulat untuk mencari ‘dia,” gadis itu berjanji bahwa mulai saat ini tidak akan menceritakan apa yang dialami atau dirasakan pada orang yang tidak berhak. Bisa-bisa pikirannya terganggu dan akhirnya tidak melakukan yang seharusnya.